Rabu, 23 Mei 2018

Peradaban Islam Pada Masa Rasulullah sallallahu alaihi wasallam


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Sejarah Dan Peradaban
         Sejarah dalam bahasa arab, Tarikh atau History (inggris), adalah cabang ilmu pengetahuan yang berkenaan dengan kronologi berbagai peristiwa.[1] Para ahli banyak mendifinisikan arti sejarah itu yang kesemuanya itu berintikan pada kejadian yang telah terjadi pada masa lalu. Menurut kamus besar bahasa Indonesia, sejarah adalah pengetahuan atau uraian tentang peristiwa dan kejadian yang benar-benar terjadi di masa lampau. Sedangkan menurut abd. Rahman as-sakhawi bahwa sejarah itu adalah seni yang berkaitan dengan serangkaian anekdot yang berbentuk kronologi peristiwa. Secara teknis, formula Nisar Ahmad Faruqi menjelaskan formula yang digunakan dikalangan sarjana barat bahwa sejarah terdiri atas ( man + time + space =history ).
         Sedangakan peradaban adalah kemajuan (kecerdasan, kebudayaan ) lahir batin, hal yang menyangkut sopan santun, budi bahasa dan kebudayaan suatu bangsa.[2] Peradaban islam adalah terjemahan dari kata arab Al-Hadharah Al Islamiyah. Kata arab ini sering juga di terjemahkan kedalam bahasa Indonesia dengan kebudayaan islam. Kebudayaan dalam bahasa arab adalah Al-Tsaqafah. Masih banyak orang yang mensinonimkan dua kata “ kebudayaa”  dan  “peradaban”. Dalam perkembagan ilmu antropologi sekarang  kedua istilah itu di bedakan. Kebudayan adalah bentuk ungkapan tentang semangat mendalam suatu masyarakat. Sedangkan manifestasi-manifestasi kemajuan mekanis dan teknologis lebih berkaitan dengan peradaban. Kalau kebudayan lebih banyak direfleksikan dalam seni, sastra, religi (agama), dan moral, maka peradaban terefleksi dalam politik, ekonomi, dan tekhnologi.[3]
          Landasan peradaban islam adalah kebudayan islam terutama wujud idealnya, sementara landasan kebudayaan islam adalah agama. Jadi, dalam islam, tidak seperti pada masyarakat yang meganut agama bumi, agama bukanlah kebudayaan tetapi dapat melahirkan kebudayaan. Kalau kebudayaan merupakan hasil cipta rasa dan karsa manusia, maka agama islam adalah wahyu dari tuhan.
          Jadi, sejarah peradaban islam adalah kejadiaan atau peristiwa yang terjadi pada masa lampau yang merupakan kemajuan dan keberhasilan dalam membangun  kecerdasan suatu bangsa  yang di pelopori oleh orang orang islam pada masanya.
B.     Riwayat Hidup Nabi Muhammad S.A.W
 Nabi Muhammad Saw. Adalah anggota Bani Hasyim, suatu kabilah yang kurang          berkuasa dalam suku Quraisy. Ayahnya be  rnama Abdullah anak Abdul Muthalib, seorang kepala suku quraisy yang besar pengaruhya. Ibunya adalah Aminah Binti Wahab dari bani Zuhrah. Tahun kelahiran Nabi dikenal dengan nama tahun Gajah (570 M).[4] Dinamakan demikian, karena pada tahun itu pasukan Abrahah, gubernur kerajaan Habsyi ( Ethiopia), dengan menungang gajah menyerbu Mekkah untuk menghancurkan Ka’bah.
Muhamad lahir dalam keadaan yatim karena ayahnya abdullah meniggal dunia tiga bulan setelah dia menikahi aminah. Muhammad kemudian diserahkan kepada ibu pengasuh, Halimah Sa’diyah dari suku Banu Sa’ad. Dalam asuhanya Nabi Muhammad besarkan sampai usia enam tahun ketika di kembalikan kepada ibunya. Pada usia 6 tahun ibunya Aminah wafat ketika hendak menziarahi makam suaminya di madinah, di desa abwa’ madinah. Kemudian nabi di asuh oleh kakek nya Abdul Muthalib, kurang lebih dua tahun bersama kakek nya Abdul Muthalib wafat karena sudah tua renta. Kemudian di asuh oleh pamannya Abu Thalib, dalam usia muda nabi hidup sebagai pengembala kambing keluarganya dan kambing penduduk Mekah.
Ketika Nabi berusia 25 tahun dilamar oleh saudagar wanita yang kaya raya yang telah lama menjada, Khadijah. Yang usianya pada saat itu 40 tahun. Dalam masa selanjutnya Khadijah adalah wanita pertama yang masuk islam dan banyak membantu nabi dalam menyebarkan agama islam. Perkawinan bahagia dan saling mencintai itu dikaruniai enam orang anak, dua putra dan empat putri yaitu Qasim, Abdullah, Zainab, Ruqayah, Ummu Kulsum. Nabi muhammad tidak menikah lagi sampai Khadijah meninggal dunia ketika muhammad berusia 50 tahun.



C.     Misi Nabi Muhammad S.A.W.         
          kehidupan masyarakat arab secara sosiopolitis mencerminkan kehidupan derajat yang rendah, perbudakan, mabuk, perzinaan, eksploitasi ekonomi dan perang antar suku menjadi karakter perilaku mereka.[5] Situasi chaos semacam ini berlangsung sejak para pendahulu mereka mendiami negeri tersebut. Dari aspek kepercayaan orang-orang Mekah adalah para penyembah berhala. Tidak kurang dari 300 berhala yang mereka anggap sebagai tuhan atau pelindung manusia. Berangkat dari kondisi inilah dalam sejarah dicatat bahwa Muhammad sering kontemplasi (uzlah), untuk mendapatkan suatu jawaban apa dan bagaimana seharusnya membangun kehidupan masyarakat arab. Setelah melalui proses  kontemplasi yang cukup lama, tepatnya di Gua Hira, akhirnya Muhammad mendapat suatu petunjuk dari Allah melalui malaikat Jibril untuk mengubah masyarakat arab mekah. Dari sinilah awal sejarah penyebaran dan perjuangan nabi muhammad s.a.w. dalam menegakkan ajaran islam di mulai.
        Nabi muhammad adalah orang yang membawa doktrin teologis sekaligus membawa doktrin politis[6]. Doktrin teologis adalah doktrin yang menekankan subtansi moral dan mempersatukan ideal moral manusia dengan ideal moral tuhan tanpa melakukan perubahan sosial politik sebagai bagian dari proses ideal moral tersebut, sedangkan doktrin teologis politis adalah doktrin yang mengedepankan ajakan moral sekaligus berusaha melakukan perubahan sistem untuk menata intitusi-intitusi sosial dan politik. Nabi Muhammad selain mengajarkan nilai-nilai islam yang berkenaan dengan hal-hal yang bersifat aksentis (keakhiratan), juga berusaha beserta umatnya menata kekuatan untuk mengambil alih peran kepemimpinan dan pemerintahan orang-orang Quraisy, peran ini sangat dominan terutama pada saat nabi berada di madinah. Yang intinya Nabi Muhamad di utus ke permukaan bumi untuk memperbaiki dan menyempurnakan akhlak manusia.


D.    Peradaban Pada Masa Rasulullah S.A.W.
       Peradaban atau kebudayaan pada masa Rasullah S.A.W. yang paling dahsyat adalah perubahan sosial.[7] Suatu perubahan mendasar dari masa kebobrokan moral menuju moralitas yang beradab. Dalam tulisan Ahmad Al-Husairy, diuraikan bahwa peradaban pada masa Nabi dilandasi dengan asas-asas yang diciptakan sendiri oleh Muhammad di bawah bimbingan wahyu. Antara lain:
1.      Pembangunan Masjid Nabawi
Dikisahkan bahwa unta tunggangan Rasulullah berhenti di suatu tempat, maka Rasulullah memerintahkan agar di tempat itu di bangun sebuah masjid. Rasulullah ikut serta dalam pembangunan masjid tersebut. Beliau mengangkat dan memindahkan batu batu Masjid itu dengan tanganya sendiri. Saat itu, kiblat dihadapkan ke Baitul Maqdis. Tiang masjid terbuat dari batang kurma, sedangkan atapnya dibuat dari pelepah daun kurma. Adapun kamar kamar isteri beliau di buat disamping masjid. Tatkala pembangunan selesai, Rasulullah memasuki pernikahan dengan Aisyah pada bulan Syawal. Sejak saat itulah, Yatsrib dikenal dengan Madinatur Rasul atau Madinah Al Munawarah. Kaum muslimin melakukan berbagai aktivitasnya di dalam masjid ini, baik beribadah, belajar, memutuskan perkara mereka, berjual beli maupun perayaan-perayaan. Tempat ini menjadi faktor yang mempersatukan mereka.
2.      Persaudaraan Antara Kaum Muhajirin Dan Anshar
Rasulullah mempersaudarakan diantara kaum Muslimin dan Anshar. Mereka kemudian membagikan rumah yang mereka miliki, bahkan juga isteri-isteri dan harta mereka. Persaudaraan ini terjadi lebih kuat daripada hanya persaudaraa yang berdasarkan keturunan. Dengan persaudaraan ini, Rasulullah telah menciptakan sebuah kesatuan yang berdasarkan agama sebagai pengganti dari persatuan yang berdasarkan kabilah.
3.      Kesepakatan Untuk Saling Membantu Antara Kaum Muslimin Dan Non Muslimin
Di madinah, ada tiga golongan manusia, yaitu kaum Muslimin, orang-orang arab, serta kaum non muslimin, dan orang-orang yahudi ( Bani Nadhir, Bani Quraizhah, dan Bani Qainuqa). Rasulullah melakukan satu kesepakatan dengan mereka untuk terjaminya sebuah keamanan dan kedamaian. Juga untuk melahirkan sebuah suasana saling membantu dan toleransi diantara golongan tersebut.
4.      Peletakan Asas-Asas Politik, Ekonomi, Dan Sosial
         Islam adalah agama dan sudah sepantasnya jika didalam negara diletakan dasar-dasar islam, maka turunlah ayat-ayat Al Qur’an pada periode ini untuk membangun legalitas dari sisi-sisi tersebut sebagaimana di jelaskan oleh Rasulullah dengan perkataan dan tindakannya. Hiduplah kota Madinah dalam sebuah kehidupan yang mulia dan penuh dengan nilai-nilai utama. Terjadi sebuah persaudaraan yang jujur dan kokoh, ada solidaritas yang erat di antara anggota masyarakatnya. Dengan demikian berarti bahwa inilah masyarakat Islam pertama yang dibangun Rasullulah dengan asas-asasnya yang abadi.[8]
    Secara sistematik, proses peradaban yang dilakukun oleh Nabi pada masyarakat islam adalah: pertama, Nabi Muhammad S.A.W. mengubah nama Yatsrib menjadi madinah di Yatsrib ( Madinat Ar-Rasul, Madinah An-Nabi, atau Madinah Al-Munawwarah). Perubahan nama yang bukan terjadi secara kebetulan, tetapi perubahan nama yang menggambarkan cita-cita Nabi Muhammad S.A.W. yaitu membentuk suatu Masyarakat yang tertib, maju, dan berperadaban.
     Kedua, membangun Masjid. Masjid bukan hanya dijadikan pusat kegiatan ritual shalat saja, tetapi juga menjadi sarana penting untuk mempersatukan kaum Muslimin dengan musyawarah dalam merundingkan masalah-masalah yang di hadapi. Di samping itu, Masjid juga menjadi pusat kegiatan pemerintahan.
      Ketiga, Nabi Muhammad S.A.W. membentuk kegiatan Mu’akahat (persaudaraan), yaitu mempersaudarakan kaum Muhajirin  orang-orang yang hijrah dari mekah ke Yatsrib) dengan Anshar (orang-orang yang menerima dan membantu kepindahan Muhajirin di Yatsrib). Persaudaraan diharapkan dapat mengikat kaum Muslimin dalam satu persaudaraan dan kekeluargaan.
     Keempat, membentuk persahabatan dengan pihak-pihak lain yang tidak beragama islam.
     Kelima, Nabi Muhammad S.A.W. membentuk pasukan tentara untuk mengantisipasi ganguan-ganguan yang di lakukan oleh musuh. Munawir Syadzali menguraikan bahwa dasar-dasar kenegaraan yang terdapat dalam piagam madinah adalah: pertama, umat Islam merupakan satu komunitas (Umat) meskipun berasal dari suku yang beragam. Kedua, hubungan antara sesama anggota komunitas islam dengan komunitas-komunitas lain di dasarkan atas prinsip-prinsip sebagai berikut:[9]
a.       Bertetangga yang baik,
b.      Saling membantu dalam menghadapi musuh bersama,
c.       Membela mereka yang dianiaya,
d.      Saling menasehati dan,
e.       Menghormati kebebasan beragama.




          [1]. Nisa Ahmed Faruqi. Early Muslim Historiography, Delhi: Idarah Adabiyati, 1979, hlm. 3.
          [2].Tim Redaksi. Kamus Besar Bahasa Indonsia Pusat Bahasa, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2013, hlm. 7.
          [3]. Effat Al Sharqawi. Fisafat Kebudayaan Islam, Bandung: Penerbit Pustaka, 1986, Hlm 5.
          [4] . Muhammad Husain Haekal. Sejarah Hidup Muhammad, Jakarta: Litera Antarnusa, 1990, cet.12, hlm 49.
          [5] . Syed Mahmudun Nasir. Islam Its Conceps And History, New Delhi: Lahoti, 1981, hlm. 87.
         [6]. Dedi Supriyadi. Sejarah Peradaban Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2008. hlm. 62.
         [7]. Dedi Supriyadi. Sejarah Peradaban…, hlm. 62.
         [8]. Sejarah Peradaban…, hlm. 64.
         [9]. Dedi Supriyadi.Sejarah Peradaban…, hlm. 65.

Selasa, 22 Mei 2018

PENDIDIKAN INDONESIA MASA KINI



PENDIDIKAN INDONESIA MASA KINI 
 SERTA DUNIA DAKWAH
OLEH:
HENDRYANIS

Indonesia Masa Kini dan Yang Akan Datang
Indonesia adalah Negara yang sangat luas, yang sangat kaya, yang sangat istimewa, terletak di garis khatulistiwa, beragam suku dan budaya, ber corak ragam bahasa serta beraneka agama. Negara yang besar harus di pimpin oleh orang yg berjiwa besar, bermental baja, berani, otot kawat tulang besi, dan tentunya orang yang beragama, orang yang dapat membedakan mana kawan mana musuh, mana batil mana betul agar Negara yang di pimpin di segani dunia, dan tercipta Baldatun Thayyibatun Warabbun Ghafur.
Realita kita saat ini, hidup di akhir zaman, hidup dalam suasana yang campur aduk, hidup dengan kebingungan, hidup dengan keadaan yang ada. Se olah olah Indonesia yang besar ini di anggap kecil, di anggap remeh oleh Negara Negara lain di akibatkan oleh para generasinya. Yang tanpa ada control dari para petinggi Negara. Maka pendidikan kita harus di benahi, harus di perbaiki, harus menjadi lebih baik. Agar kita di segani dunia. Tentunya dengan pendidikan islam.
Bagaimana cara membentuk karakter pemimpin yang seperti ini? Tentunya dimulai sejak dini, di didik dengan agama, di ajarkan oleh guru dengan penuh cinta, dan tentunya dengan doa orang tua. Karena akan melekat, akan menempel erat, akan tak mudah di lupakan ilmu tersebut. Pepatah mengatakan belajar di waktu kecil bagai mengukir di atas batu, belajar sesudah dewasa bagai mengukir di atas air.
Pada dasarnya, Pendidikan dalam islam merupakan sebuah rangkaian proses pemberdayaan manusia menuju taklif (kedewasaan), baik secara akal, mental maupun moral, untuk menjalankan fungsi kemanusiaan yang diemban-sebagai seorang hamba dihadapan khaliq-nya dan sebagai “pemelihara” khalifah pada alam semesta dengan demikian, fungsi utama pendidikan adalah mempersiapakn peserta didik generasi penerus dengan kemampuan dan keahlian skill yang diperlukan agar memiliki kemampuan dan kesiapan untuk terjun ke tengah masyarakat, sebagai tujuan akhir dari pendidikan.
Menurut penulis pendidikan kita saat ini hanya bertujuan untuk kehidupan dunia semata, tanpa ada control agama di dalam pendidian tersebut, sehingga menimbulkan berbagai akibat yang merugikan kita, akhlak generasi muda semakin rusak, tawuran antar pelajar, geng motor, kekerasan, bahkan lebih dari itu makin tinggi pendidikan seseorang seolah olah tidak punya ilmu biasanya, dia akan seperti padi makin menunduk, tapi realita kenyataan saat ini bukan semakin menunduk akan tetapi semakin tidak ada pengamalan dari ilmunya, percuma saja sekolah tinggi kalo hasilnya demikian, sebagai contoh masih ada korupsi, masih ada suap menyuap, masaih ada KKN, dll.
Dalam lintasan sejarah peradaban islam, peran pendidikan ini benar-benar bisa dilaksanakan pada masa-masa kejayaan Islam. Hal ini dapat kita saksikan, di mana pendidikan benar-benar mampu membentuk peradaban sehingga peradaban islam menjadi peradaban terdepan sekaligus peradaban yang mewarnai sepanjang Jazirah Arab, Asia Barat hingga Eropa Timur. Kemajuan peradaban dan kebudayaan islam pada masa kejayaan sepanjang abad pertengahan, di mana peradaban dan kebudayaan islam berhasil menguasai jazirah arab, asia barat dan eropa timur, tidak dapat dilepaskan dari adanya sistem dan paradigma pendidikan yang dilaksanakan pada masa tersebut.[1]
Proses pendidikan yang berakar dari kebudayaan, berbeda dengan praksis pendidikan yang terjadi dewasa ini yang cenderung mengalienasikan proses pendidikan dari kebudayaan. Kita memerlukan suatu perubahan paradigma dari pendidikan untuk menghadapi proses globalisasi dan menata kembali kehidupan masyarakat indonesia. Cita-cita era reformasi tidak lain ialah membangun suatu masyarakat madani Indonesia oleh karena itu, arah perubahan paradigma baru pendidikan Islam diarahkan untuk terbentuknya masyarakat madani indonesia tersebut.[2]
Ada sejumlah analisis yang telah dilakukan oleh para pakar pendidikan indonesia mengenai eksistensi atau status ilmu pendidikan di indonesia sekarang ini, antara lain oleh Ahmad Sanusi, Mochtar Buchori, h.a.r. Tilaar, dan Winarno Surachkmad. Dalam tulisannya yang berjudul “ilmu pendidikan di indonesia  dewasa ini” Profesor Buchori sampai kepada kesimpulan dengan mengatakan bahwa ilmu pendidikan di indonesia kini sedang mengalami krisis identitas, antara lain karena ilmu pendidikan telah direduksi ke taraf ilmu keguruan.[3]
Profesor Tilaar (1996) mengatakan bahwa ilmu pendidikan di indonesia sekarang ini adalah dalam keadaan buta dan tuli, karena ilmu tersebut tidak ditopang oleh filsafah yang mendasari pendidikan nasiona, tidak memperhitungkan kehidupn masyarakat indonesia yang majemuk (bhinneka), dan tidak didasarkan kepada pengetahuan yang nyata tentang perkembangan jiwa dan fisik anak indonesia, serta ilmu pendidikan itu tidak didukung oleh “body of knowledge” yang relevan denga masyarakat indonesia dan juga tidak didukung oelh lembaga yang menjadi soko guru dari ilmu pendidikan di indonesia.[4]
Profesor Winano Surakhmad (1996) mengatakan bahwa ilmu pendidikan (bukan hanya di indonesia) merupakan ilmu yang kontra produktif, karena ilmu pendidikan itu sekrang ini tidak memiliki daya pikat, bukan saja karena ia lamban dan statis, tetapi juga karena tidak peka dan tidak menghiraukan aspirasi kemajuan. Ia semakin terlepas dari konteks budaya dan masyarakat yang diabdinya, dan karena itu ia semakin mengalami astrofi  dan dinilai tidak berguna. Keadaan demikian menurut winarno tidak boleh dibiarkan. Ilmu pendidikan harus berfungsi sebagaimana seharusnya, dan untuk itu harus dicari parameter yang bersifat konprehensif sehingga ilmu pendidikan menjadi ilmu yang multi dimensi, baik secara ilmiah, maupun secara epistemologis, dan metafisis.[5]
Persoalannya bagi kita ialah di indonesia bahwa ilmu pendidikan di indonesia belum berkembang, khususnya belum berkembang filsafat ilmu pendidikan dan teori-teori pendidikan yang bertolak dari bumi indonesia, artinya dari manusia, budaya, dan kehidupan  indonesia. Sebenarnya telah banyak juga
Model “kemas ke depan” antara pendidikan masyarakat, dan kebudayaan mempunyai hubungan yang sangat erat, yang tidak mungkin ketiganya dipisahkan. Masyarakat dan kebudayaan itu tidak statis, tetapi dinamis, terus berubah, malah dalam zaman modern dan globlisasi perubahan dan perkembangannya sangat cepat dan kompleks. Perubahan itu berkaitan dengan dimensi waktu masa depan. Bagaimana Perubahan itu di masa depan merupakan sesuatu yang belum diketahui dengan pasti, tetapi dapat diduga atau diperkirakan, dan telah banyak ahli tentang masa depan yang memperkirakan bagaimana eksistensi masa depan masyarakat dan kebudayaan, atau masa depan daripada kehidupan manusia.
Melihat dari beberapa pendapat dari pakar di atas, maka penulis berkesimpulan bahwa sistem pendidikan kita saat ini sangat memperhatikan, karena hasil dari pendidkan itu tidak ada dampak signifikan terhadap kehidupan, penulis melihat dari segi generasi muda saat ini. Lalu bagaimana dengan masa depan pendidikan kita ke depan? Seandainya sistem pendidkan kita tidak di benahi, maka akan terjadi hal hal yang tidak dapat kita bayangkan, melebihi masa sekarang. Atau mungkin kita menjadi lebih baik di masa depan ketika kita mau memperbaiki hal itu di masa sekarang ini. Tapi semunya tentang ramalan masa depan ini masih misteri hanya Allah saja yang tau.
Di lihat dari realita sekarang maka Indonesia punya tugas yang berat. Jika kita generasi Indonesia sekarang tidak mau bangkit, dan tidak mau bersungguh sungguh terhadap ilmu pengetahuan maka kita bisa menebak bagaimana Indonesia kedepan nya, maka Indonesia akan makin lebih buruk dari sekarang, atau mungin menjadi lebih baik.

 Dunia dakwah
Secara historis dapat diketahui bahwa proses islamisasi di nusantara terjadi karena aktivitas dakwah. Tanpa usaha yang dilakukan oleh para dai, maka rasanya tidak mungkin akan terjadi ke pengantar terbesar umat islam di indonesia sebagaimana yang kita ketahui sekarang.
Di masa akhir akhir ini banyak contoh kasus yang melarang adanya dakwah, dengan alasan yang tidak logis menurut penulis, alasan terorisme, radikalisme, aliran sesat, manhaj cacat dll, yang semua tuduhan itu tidak terbukti benar adanya. penolakan penolakan kepada para dai dai baik di Indonesia maupuan di luar negeri, membuat negeri ini semakin menangis dan bersedih. Mengapa hal ini bias terjadi? Di karenakan mereka kurang ilmu agama nya. Menuruti ego dan hawa nafsu semat. Mereka dimasuki pemahaman yang salah, politik adu domba memecah umat.
Dakwah islam memiliki dua tantangan sekaligus.yaitu:[6]
Pertama adalah tantangan keilmuan dakwah yang hingga sekarang belum tampak perkembangannya yang menggembirakan. Ilmu dakwah tampak stagnan dalam tataran pengembangan keilmuannya. Jika mengacu pada dimensi pengembangan keilmuan tersebut pada tulisan-tulisan ilmu dakwah yang sangat menonjol, maka rasanya tidak kita jumpai karya akademis outstanding tentang dakwah tersebut. Banyaknya buku atau jurnal yang di dalamnya menjadi instrumen bagi pengembangan ilmu dakwah maka tentu akan menjadi ajang bagi pengembangan ilmu dakwah tersebut.
Ada banyak pengkaji ilmu dakwah yang kemudian berubah pikiran untuk mengembangkan ilmu komunikasi atau community development atau bahkan kajian konseling. Akibatnya, orang lebih melihat pada cabang-cabangnya dan bukan pada pohon atau akarnya. Jika kita lihat di lapangan, maka tidak banyak kajian tentang dimensi-dimensi ontologis dan epistemologis keilmuan dakwah. Melalui diskusi atau kajian yang mendasar tentang hal ini, maka pengembangan keilmuan dakwah akan menjadi lebih semarak. Harus kita ingat bahwa hanya dengan diskusi atau kajian yang hangat saja maka pengembangan ilmu dakwah akan menjadi kenyataan.
Kedua, problem atau tantangan praksis dakwah. Harus kita akui bahwa dakwah bil lisan memang mendominasi terhadap percaturan dakwah di indonesia. Ada banyak tokoh yang mengembangkan dakwah bil lisan ini.
Baik dakwah bil lisan yang dilakukan melalui aktivitas bertajuk dakwah atau yang berupa sisipan dakwah dalam acara-acara yang khusus, misalnya peristiwa pernikahan, khitanan, jumatan, atau lainnya. Selain ini juga ada dakwah yang dilakukan melalui media massa, seperti televisi, radio, atau media massa lainnya. Tentu saja semuanya memiliki sejumlah pengaruh bagi para audiennya. Dakwah islam memang merupakan usaha yang dilakukan oleh para dai kepada masyarakat agar etika menjadi penganut islam yang benar. Melalui dakwah islam, maka masyarakat akan dapat menjadi pemeluk islam yang menaati ajaran agamanya. Dan melalui dakwah islam maka masyarakat yang memegangi prinsip kehidupan berdasarkan ajaran agama akan didapatkan. Dakwah islam memang sudah menggunakan pendekatan yang modern.
Dakwah sudah menggunakan medium informasi yang mutakhir. Dakwah sudah dikemas dengan medium televisi, radio, surat kabar dan sebagainya. Dakwah sudah menghiasi halaman demi halaman surat kabar, dakwah sudah menghiasi tayangan demi tayangan medium televisi. Akan tetapi dakwah yang berpusat pada peningkatan ekonomi umat tentu belumlah menjadi arus utama bagi masyarakat kita.
Strategi dakwah modernitas sebelum membicarakan dakwah modernitas, sebaiknya apabila lebih dahulu membahas tentang komponen/unsur-unsur pokok dakwah sebagai sistem komunikasi yang efektif dalam proses pelaksanaan dakwah. Oleh karena itu, dakwah modernitas adalah dakwah yang dilaksanakan dengan memperhatikan unsur-unsur penting dakwah tersebut, kemudian subjek atau juru dakwah menyesuaikan materi, metode, dan media dakwah dengan kondisi masyarakat modern (sebagai objek dakwah) yang mungkin saja situasi dan kondisi  yang terjadi di zaman modern terutama dalam bidang keagamaman, tidak pernah terjadi pada zaman sebelumnya, terutama di zaman klasik.  Dengan demikian, berarti dakwah di era modern adalah dakwah yang pelaksanaannya disesuaikan dengan kondisi dan keadaan masyarakat modern, baik dari segi materi, metode, dan media yang akan digunakan. Sebab mungkin saja materi yang disampaikan itu Bagus, tetapi metode atau media yang digunakan tidak sesuai dengan kondisi masyarakat modern, maka dakwah akan mengalami kegagalan. Begitu pula sebaliknya, mungkin saja media atau metode yang digunakan sesuai dengan kondisi masyarakat modern, akan tetapi materi yamg disampaikan kurang tepat, apalagi bila tampilan kemasannya kurang menarik, juga dakwah akan mengalami kegagalan. 
Oleh karenanya, untuk mencapai tujuan dakwah  yang efektif di era modern maka juru dakwah seyogainya adalah orang yang memiliki pengetahuan dan wawasan yang luas, menyampaikan  materi atau isi pesan dakwah yang aktual, dengan menggunakan metode yang tepat dan relevan dengan kondisi masyarakat modern, serta menggunakan media komunikasi yang sesuai dengan kondisi dan kemajuan masyarakat modern yang dihadapinya.


[1] M. Khoirul Anam ,From: http://www. Pendidikan.net/mk-anam.htm, di akses: ( 5 januari 2018).
[2] Hujair. Sanaky. Jurnal Paradigma Baru Pendidikan Islam. ( di akses tanggal 6 januari 2018).
[3] Prof.Dr.Darwis A.Soelaiman, Filsafat Ilmu Pendidikan Untuk Indonesia Masa Kini dan Masa depan, Hal 20, (Di Akses Tanggal 6 Januari 2018).
[4] Prof.Dr.Darwis A.Soelaiman, Filsafat Ilmu Pendidikan Untuk Indonesia Masa Kini dan Masa depan, Hal 20, (Di Akses Tanggal 6 Januari 2018).
[5] Prof.Dr.Darwis A.Soelaiman, Filsafat Ilmu Pendidikan Untuk Indonesia Masa Kini dan Masa depan, Hal 20, (Di Akses Tanggal 6 Januari 2018).
[6]Zulkarnain, Dakwah Islam Di Era Modern, Jurnal Risalah, Vol. 26, No. 3, September 2015: 151-158 ( Di Akses Tanggal 6 Januari 2018)

PENDIDIKAN DAN RADIKALISME





 BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang Masalah
Jikalau kita membuka lembaran sejarah Islam di masa klasik, akan ditemukan fakta bahwa radikalisme sebagai suatu gerakan bukanlah fenomena baru dalam dunia Islam modern. Sebutlah sebuah aliran keagamaan dalam Islam, yaitu Khawarij adalah contoh aliran kalam yang paling terkenal dengan fahamnya yang radikal, dan tidak kenal kompromi. hal ini dibuktikan dengan tindakan kekerasan dalam mencapai tujuannya, yaitu diantaranya melakukan pembunuhan terhadap sahabat Nabi pasca Perjanjian atau Tahkim (arbitrase) yang dianggap telah menyeleweng dari ajaran Allah.[1]
Walaupun istilah radikalisme diproduksi oleh Barat, namun gejala dan perilaku kekerasan itu dapat ditemukan dalam tradisi dan sejarah umat Islam. Fenomena radikalisme dalam Islam sebenarnya diyakini sebagai produk atau ciptaan abad ke-20 di dunia Islam, terutama di Timur Tengah, sebagai hasil dari krisis identitas yang berujung pada reaksi dan resistensi terhadap Barat yang melebarkan kolonialisme dan imperialime ke dunia Islam. Terpecahnya dunia Islam ke dalam berbagai Negara bangsa, dan proyek modernisasi yang dicanangkan oleh pemerintahan baru berhaluan Barat, mengakibatkan umat Islam merasakan terkikisnya ikatan agama dan moral yang selama ini mereka pegang teguh. Hal ini menyebabkan munculnya gerakan  radikal dalam Islam yang menyerukan kembali ke ajaran Islam yang murni sebagai sebuah penyelesaian  dalam menghadapi kekalutan hidup. Tidak hanya sampai disitu, gerakan ini melakukan perlawanan terhadap rezim yang dianggap secular dan menyimpang dari ajaran agama yang murni.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    PENDIDIKAN
Pendidikan memiliki tujuan dan fungsi sangat mulia, yaitu memanusiakan manusia, dalam arti menjadikan manusia lebih berperan sebagai manusia, lebih mengetahui serta memahamai nilai-nilai dan hakikat sebagai manusia. Hal ini menjadi penting, karena jika manusia tidak mengetahui dan memahamai nilai- nilai kemanusiaan, maka akan jatuh ke dalamsifat-sifat hewan atau binatang. Antara manusia dan binatang hakikatnya sama, perbedaannya hanya dalam hal optimalisasi penggunaan rasio atau akal saja.
 Dalam istilah bahasa Arab dinyatakan, al-insanu hayawanu an-na iq, manusia adalah hewan yang berpikir. Atau dikatakan juga, human is animal rational, manusia adalah hewan yang berpikir. Pendidikan adalah suatu proses yang sangat penting bagi kelangsungan hidup dan kehidupan manusia. Nanang Martono mengatakan bahwa pendidikan adalah tema yang sangat menarik bagi manusia, karena pendidikan adalah sebuah lembaga vital sekaligus menyediakan investasi jangka panjang bagi semua bangsa di dunia.
Pendidikan juga dapat dikatakan suatu indikator kemajuan peradaban suatu bangsa. Mengapa demikian? Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-undangNomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan bagi dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.[2]
Sungguh luar biasa hal yang harus dihasilkan dari proses pendidikan. Melihat proses dan target yang harus dicapai, maka dapat dikatakan bahwa tidak pernah ada suatu proses yang memiliki target indah dan mulia dibandingkan proses pendidikan. Ruang lingkup pendidikan sangat luas dan kompleks. Menueur, sebagaimana dikutip oleh M. Saekan Muchith dalam buku Ilmu Pendidikan Islam, menjelaskan secara rinci bahwa pendidikan setidaknya memiliki lima aspek atau elemen, yaitu:[3]
a. Usaha yang dilakukan benar-benar atas dasar kesadaran
b. Ada pendidik atau orangyang membimbing
c. Ada peserta didik, yaitu orang yang dibimbing atau orang yang       diarahkan
d. Bimbingan benar-benar dimaksudkan untuk mencapai tujuan yang positif
e. Usaha yang dicapai selalu memberdayakan sarana untuk mengoptimalkan tujuan yang ingin dicapai
Hal ini sejalan dengan tujuan pendidikan nasional yang dirumuskan dalam Pasal 3 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa pendidikan berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yangberiman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.[4]
Menurut Langeveled, sebagaimana dikutip oleh M. Saekan Muchith dalam buku Pendidikan Tanpa Kenyataan, pendidikan adalah proses bimbingan yang dilakukan oleh orang dewasa dengan tujuan untuk mendewasakan orang lain yang dicirikan dengan tiga karakteristik umum, yaitu: (a) stabil, yaitu sikap dan kepribadianyang tetap dalam segala situasi dan kondisi, baik kondisi normal, senang, maupun susah; (b) tanggung jawab, yaitu orang yang memiliki kemampuan memberikan argumentasi kuat terhadapapa yang telah dikatakan dan dilaksanakan; (c) mandiri, yaitu kemampuan untuk mengambil keputusan atas dasar kemampuan yang dimiliki sendiri, bukan karena paksaan dari pihak lain.[5]
Dapat dikatakan bahwa profil atau produk dari pendidikan adalah sosok atau profil manusia yang utuh, komprehensif, dan sempurna, baik dari aspek jasmaniah maupun rohaniah, baik dari aspek keterampilan intelektual maupun keterampilan moral dan motorik, mulai dari cara bicara sampai cara menjalankan tugas atau aktivitas. Pendidikan benar-benar mengajarkan dan membimbing manusia untuk lebih memahami realitas serta mampu menghadapi problem hidup dan kehidupan. Kesalahan dalam praktik pendidikanakan berakibat fatal bagi kelangsungan kehidupan bangsa.
Proses pendidikan tidak boleh dikotori dengan sikap dan perilaku yang bertolak belakang dengan visi dan misi pendidikan yang sebenarnya. Semua elemen dalam proses pendidikan harus saling mendukung dan bersinergi secara positif sehingga akan melahirkan kualitas proses dan produk pendidikan sesuai yang dicita-citakan.
B.     RADIKALISME
Radikalisme secara umum dipahami sebagai suatu gerakan sosial yang mengarah pada hal-hal yang negatif. Setidaknya persepsi itu yang dikonsepkan oleh Lukman Hakim, Wakil Kepala LIPI, dalam pengantar buku Islam dan Radikalisme di Indonesia. Dari persepsi seperti itu, maka muncul istilah ekstrem, anti Barat, anti Amerika, dan teroris.[6]
Dari perspektif bahasa, sebenarnya radikal jauh berbeda dengan teroris. Sebab, radikal adalah proses secara sungguh- sungguh untuk melatih keberhasilan atau cita-cita yang dilakukan dengan cara-cara yang positif. Sementara itu, terorisme berasal dari kata teror yang bermakna menakut-nakuti pihak lain. Oleh sebab itu, teror selalu dilakukan dengan cara-cara negatif dan menakutkan pihak lain.
 Seiring dengan dinamika dan pola gerakan kelompok- kelompok di masyarakat, akhirnya antara radikal dan teror menjadi satu makna, yaitu radikal merupakan embrio dari gerakan teror. Jika memiliki pola pikir radikal, maka berpeluang besar untuk melahirkan aksi teror.
 Banyak peristiwa di Indonesia dimana terorisme dan radikal menjadi satu sehingga masyarakat umum tidak usah repot-repot membedakan antara radikalisme dan terorisme. Akar atau sumber radikalisme yang berujung dengan terorisme lebih didominasi dari dogma agama yang dipahami secara sempit oleh pemeluknya. Sebab, dalam doktrin kitab agama, khususnya agama Islam,
Secara tekstualis dijelaskan tentang teks yang mudah dipahami untuk melahirkan gerakan radikal yang berujung terorisme. Banyak contoh ayat dalam Al- Qur’an yang secara tekstualis berpotensi mengarah pada gerakan radikal, antara lain sebagai berikut.
Pertama, perintah secara tekstual untuk memancung orang kafir apabila bertemu. “Apabila kamu bertemu dengan orang orang kafir (dimedan perang), maka pukullah batang leher mereka. Selanjutnya apabila kamu telah mengalahkan mereka, tawanlah mereka dan setelah itu kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan sampai perang selesai. Demikianlah dan sekiranya Allah menghendaki, niscaya Dia membinasakan mereka, tetapi Dia hendak menguji kamu satu sama lainnya. Dan, orang-orang yang gugur di jalan Allah, Allah tidak menyia- nyiakan amal mereka.” (Q.S. Muhammad [47]: 4).
 Kedua, perintah perang sampai tidak ada fitnah di muka bumi. “Dan, perangilah mereka itu sampai tidak ada lagi fitnah dan agama hanya bagi Allah semata. Jika mereka berhenti, maka tidak ada lagi permusuhan kecuali terhadap orang-orang zalim.” (Q.S. al-Baqarah [2]: 193
Ketiga, perintah untuk memerangi orang-orang yang tidak beriman. “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian, mereka yang tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan Allah dan rasul-Nya, dan mereka yang tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah) yang telah diberikan kitab, hingga mereka membayar jizyah (pajak) dengan patuh, sedang mereka dalam keadaan tunduk.” (Q.S. at- Taubah [9]: 29).
 Contoh ketiga ayat tersebut secara tekstualis berpotensi melahirkan  pola pikir  radikal yang berujung pada gerakan terorisme. Sebab, seakan-akan agama membenarkan untuk membunuh orang kafir dan membolehkan memerangi orang- orang yang dianggap tidak beriman atau tidak beragama dengan benar. Dapat dikatakan bahwa munculnya radikalisme disebabakan oleh cara pandang atau wawasan yang sempit terhadap agama.

1.    Akar Radikalisme Islam
Radikalisme Islam pada zaman dulu banyak dilatarbelakangi oleh adanya kelemahan umat Islam baik pada bidang aqidah, syariah maupun perilaku, sehingga radikalisme Islam merupakan ekspresi dari tajdid (pembaruan), islah (perbaikan), dan jihad (perang) yang dimaksudkan untuk mengembalikan muslim pada ruh Islam yang sebenarnya. Tetapi akar radikalisme Islam di zaman modern ini sangat kompleks.
Hasan menganggap bahwa radikalisme Islam merupakan strategi baru melakukan reaksi dominasi Barat terhadap dunia Islam yang kemudian memunculkan aktivisme berbendera agama untuk menuntut reposisi peran Islam dalam ruang politik kenegaraan, yang upaya ini telah dirintis melalui pemikiran Hasan al-Banna pendiri Ikhwanul Muslimin di Mesir dan Abul A’la Maududi pendiri Jama’at- i Islami di Indo Pakistan. Radikalisme Islam juga merupakan bahasa protes yang digunakan oleh orang-orang yang terpinggirkan dalam arus deras modernisasi dan globalisasi.
Mubarak menyebutkan dua penyebab utama terjadinya radikalisme agama khususnya pada Islam yakni faktor deprivasi relatif dan terjadinya disorientasi nilai-nilai yang diakibatkan modernisasi.[7] Ancok menyatakan bahwa radikalisme Islam terjadi disebabkan faktor ketidak adilan baik ketidakadilan prosedural, distributif, maupun interaksional.
Akar radikalisme dapat ditilik dari beberapa penyebab, antara lain:[8]
Pertama, adanya tekanan politik penguasa terhadap keberadaannya. Di beberapa belahan dunia, termasuk Indonesia fenomena radikalisme atau fundamentalisme muncul sebagai akibat otoritarianisme. Dalam kasus Orde Baru, negara selalu membabat habis yang diidentifikasi sebagai gerakan radikal.
Kedua, faktor emosi keagamaan. Harus diakui bahwa salah satu penyebab gerakan radikalisme adalah faktor sentimen keagamaan, termasuk di dalamnya adalah solidaritas keagamaan untuk kawan yang tertindas oleh kekuatan tertentu. Lebih tepat dikatakan hal itu sebagai faktor emosi keagamaannya dan bukan agama (wahyu suci yang absolut), karena gerakan radikalisme selalu mengibarkan bendera dan simbol agama seperti dalih membela agama, jihad, dan mati sahid. Dalam konteks ini yang dimaksud dengan emosi keagamaan adalah agama sebagai pemahaman realitas yang sifatnya interpretatif, yakni nisbi dan subjektif.
Ketiga, faktor kultural ini juga memiliki andil yang cukup besar yang melatarbelakangi munculnya radikalisme. Hal ini wajar karena memang secara kultural, sebagaimana diungkapkan Musa Asy’ari bahwa di dalam masyarakat selalu diketemukan usaha untuk melepaskan diri dari jeratan jaring-jaring kebudayaan tertentu yang dianggap tidak sesuai. Sedangkan yang dimaksud faktor kultural di sini adalah sebagai antitesis terhadap budaya sekularisme. Budaya Barat merupakan sumber sekularisme yang dianggap sebagai  musuh yang harus dihilangkan dari bumi. Sedangkan fakta sejarah memperlihatkan adanya dominasi Barat dari berbagai aspeknya atas negeri-negeri dan budaya Muslim.
Keempat, faktor ideologis Antiwesternisme. Westernisme merupakan suatu pemikiran yang membahayakan Muslim dalam mengaplikasikan syariat Islam, sehingga simbol-simbol Barat harus dihancurkan demi penegakan syariat Islam. Walaupun motivasi dan gerakan anti-Barat tidak bisa disalahkan dengan alasan keyakinan keagamaan tetapi jalan kekerasan yang ditempuh kaum radikalisme justru menunjukkan ketidakmampuan mereka dalam memosisikan diri sebagai pesaing dalam budaya dan peradaban. Yudi Latif menandaskan, munculnya terorisme disebabkan karena tidak berjalannya sense of conseption of justice. Teroris muncul karena munculnya skeptisisme terhadap demokrasi. Demokrasi dianggap sebagai sistem negara kafir.
Kelima, faktor kebijakan pemerintah. Ketidakmampuan pemerintah di negara- negara Islam untuk bertindak memperbaiki situasi atas berkembangnya frustasi dan kemarahan sebagian umat Islam disebabkan dominasi ideologi, militer maupun ekonomi dari negera-negara besar. Dalam hal ini elit-elit pemerintah di negeri negeri Muslim belum atau kurang dapat mencari akar yang menjadi penyebab munculnya tindak kekerasan (radikalisme) sehingga tidak dapat mengatasi problematika sosial yang dihadapi umat. Hal yang demikian diungkapkan oleh Mahathir Muhammad dalam sambutannya pada acara pertemuan negara-negara OKI di Kuala Lumpur Malaysia tanggal 1–3 April Di negeri ini bisa dilihat tidak tuntasnya penyelesaian masalah korupsi, aset negara yang banyak lari ke luar negeri, pencaplokan wilayah Indonesia oleh Malaysia, dan disedotnya kekayaan negara oleh konspirator politik.
Keenam, faktor media massa (pers) Barat yang selalu memojokkan umat Islam juga menjadi faktor munculnya reaksi dengan kekerasan yang dilakukan oleh umat Islam. Propaganda-propaganda lewat pers memang memiliki kekuatan dahsyat dan sangat sulit untuk ditangkis sehingga sebagian “ekstrim” yaitu perilaku radikal sebagai reaksi atas apa yang ditimpakan kepada komunitas Muslim. Lihat misalnya film Fitna, penggambaran tentang kiamat (film 2012), dan lainnya.
Pola pikir normatif dan pola pikir hitam putih merupakan faktor dominan lahirnya radikalisme dan terorisme. Sejarah Islam mencatat bahwa akibat polapikir yang sempit terhadap terminologi kafir, maka seorang ulama besar yang hafal Al-Qur’an, rajin shalat malam, dan rajin puasa sunah Senin- Kamis yang bernama Abdurrahman bin Mulzam tega membunuh Sayidina Ali bin Abi Thalib karena Sayidina Ali bin Abi Thalib dianggap kafir atau tidak beragama secara benar hanya gara-gara melakukan perundingan damai dengan Muawiyah.
 Radikalisme dalam agama akhirnya menjalar ke aspek pendidikan, dimana salah satu atau beberapa elemen dalam pendidikan sering melakukan radikalisme yang menyebabkan teror atau rasa takut para elemen pendidikan untuk melaksanakan tugas sebagai pendidik dan tenaga kependidikan. Guru kurang maksimal melaksanakan tugasnya sebagai pendidik hanya agara gara takut diancam pihak pihak lain uangg dianggap merasa dirugikan. Seorang kepala sekolah kurang optimal menjalankan tugasnya sebagai pimpinan lembaga pendidikan karena takut ditekan atau diancam oleh atasannya. Akibatnya proses pendidikan dan proses kepemimpinan kurang sesuai harapan karena ada intervensi yang bersifat mengancam dari pihak pihak lain diluar pendidikan.

2.      Penyebaran Faham Radikalisme
Islam Para pendukung faham Radikalisme Islam menggunakan berbagai sarana dan media untuk menyebarluaskan faham mereka, baik dalam rangka pengkaderan internal anggota maupun untuk kepentingan sosialisasi kepada masyarakat luas. Berikut ini sarana yang ditempuh untuk menyebarluaskan faham radikalisme yaitu :[9]
1. Melalui pengkaderan organisasi. Pengaderan organisasi adalah kegiatan pembinaan terhadap anggota dan atau calon anggota dari organisasi simpatisan atau pengusung radikalisme. Pertama Pengkaderan internal. Pengkaderan internal biasanya dilakukan dalam bentuk training calon anggota baru dan pembinaan anggota lama. Rekruitmen calon anggota baru dilakukan baik secara individual maupun kelompok. Rekrutmen individual biasanya dilakukan oleh organisasi radikal Islam bawah tanah seperti NII, melalui apa yang sering disebut dengan pencucian otak (brainwashing). Hampir semua korban pencucian otak dari keompok ini menceritakan pengalamannya terkait dengan doktrinasi ajaran atau faham mereka yang sarat dengan muatan radikalisme, seperti diperbolehkannya melakukan kegiatan merampok untuk kepentingan NII.
2. Melalui masjid-masjid yang berhasil “dikuasai”. Kelompok Islam radikal juga sangat lihai memanfaatkan masjid yang kurang “diurus” oleh masyarakat sekitar. Kesan rebutan masjid ini pernah menjadi berita heboh beberapa waktu lalu.11 Pemanfaatan masjid sebagai tempat untuk menyebarkan ideologi radikalisme Islam terungkap berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan oleh CSRC dan dimuat di harian Republika pada tanggal 10 Januari 2010. Penelitian sejenis tampaknya perlu dilakukan di Yogyakarta, mengingat kota ini juga tidak luput sebagai basis beberapa gerakan Islam radikal.
3. Melalui majalah, buletin, dan booklet. Penyebaran ideologi radikalisme juga dilakukan melalui majalah, buletin dan booklet. Salah satu buletin yang berisi ajakan untuk mengedepankan jihad dengan kekerasan adalah buletin “Dakwah & Jihad” yang diterbitkan oleh Majelis Ar-Rayan Pamulang di bawah asuhan Abu Muhammad Jibril, pentolan MMI, kakak kandung Irfan S Awwas, Amir MMI sekarang ini.
4. Melalui penerbitan buku-buku. Faham radikalisme juga disebarkan melalui buku-buku, baik terjemahan dari bahasa Arab, yang umumnya ditulis oleh para penulis Timur Tengah, maupun tulisan mereka sendiri. Tumbangnya pemerintahan Soeharto membuat kelompok-kelompok radikal yang dulu tiarap menjadi bangun kembali. Euforia reformasi ternyata juga berimbas dengan masuknya buku-buku berideologi radikal seperti jihad dari Timur Tengah ke Indonesia.
5. Melalui internet. Selain menggunakan media kertas, kelompok radikal juga memanfaatkan dunia maya untuk menyebarluaskan buku-buku dan informasi tentang jihad

3. Pencegahan Radikalisme.
Radikalisme bisa menimpa siapa saja, kapan saja dan dimana saja. Tidak peduli anak anak, remaja, orang dewasa, tidak pandang mereka miskin atau kaya, tidak pandang mereka kelompok elit ataupun rakyat jelata. Radikalisme lebih banyak disebabkan oleh adanya faham atau pemikiran yang sempit terhadap suatu fenomena. Oleh sebab itu radikalisme alan bisa ditelan atau dieliminir bahkan dihilangkan hatus diawali dati pembinaan atau bimbingan cara pandang atau cara fikir terhadap suatu fenomena. Nur Syam (2009) dalam buku Tantangan Multikulturalisme Indonesia memiliki analisis yang cukup menarik bahwa untuk melahirkan cara pandang yang tepat perlu belajar dari ideologi Ahlussumah Wal Jamaah atau NU yang dicirikan dengan empat  hal;[10]
Pertama, Tawasuth (moderat). Doktrin ini mengajarkan bahwa manusia memiliki kebebasan untuk melaksanakan suatu aktivitas tetapi sebebas apapun manusia masih dibatasi oleh kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa. Artinya dapam meraih keuksesan, manusia wajib ihtiyar secara optimal tetapi jangan lupa bahwa Allah swt juga ikut menentukan keberhasilan. Setelah berusaha manusia wajib berdoa dan pasrah kepada Allah swt.
Kedua, Tawazun ( keseimbangan). Doktrin ini mengajarkan bahwa manusia dalam memandang suatu realitas tidak boleh bersifat ektrem baik kekiri atupun ke kanan. Artinya manusia yang bauk tidak terlalu berlebihan pada saat senang atau benci kepada sesuatu. Hal ini didasarkan asumsi bahwa sebaik baik menurut pandangan manusia belum tentu baik menurut Allah swt, sebaliknya sejelek jelek dalam pandangan manusia juga belum tentu jelek menurut Allah swt.
Ketiga, I’ Thidal (keadilan). Doktrin ini mengajarkan bahwa diantara sesama manusia harus saling memebrikan kepercayaan dan kepercayaan yang dibangun harus memberikan persn secara proporsional. Dunia akan cepat hancur jika masing masong elemen tidak memiliki kesadaran untuk melaksanakan peran masing masing secara proporsional.
Keempat, Tatharruf (universsalisme). Doktrin ini mengajarkan Setiap  manusia agar lebih mengedepankan pemahaman islam yang bersifat universal (global). Kebenaran Islam dilihat dari norma norma yang bersifat umum seperti keadilan, kemanusiaan, keselamatan dan kesejahteraan.
 Langkah berikutnya yang bisa dilakukan untuk mengeliminir atau membendung gerakan radikalisme dalam pendidikan adalah dengan cara memerkuat pola jaringan kerjasama internal sekolah dan jaringan eksternal antara sekolah dengan masyarakat  dan orang tua siswa.
Kerjasama internal adalah kerjasama yang rapi dan kompak antara pimpinan kepada guru, antar sesama guru dalam menghadapi, memahami dan menyelesaikanersoapan siswa. Lengkah langkah yang dilakukan antara guru satu dengan lainnya, antara pimpinan satu dengan yang lain harus singkron sehingga tidak muncul kesan berbeda beda dalam melihat persoalan siswa.
Kerjasama antar sekolah dengan masyarakat dan orang tua adalah pola koordinasi secara rutin dan sistematis jika terdapat persoalan yang muncul. Kerjasama dilakukan sesuai dengan jenis problem dan kepentingan yang ada, dan kerjasama tidak hanya dilakukan dalam konteks memberikan solusi atas persoalan yang muncul tetapi juga harus dilakukan dengan tujuan antisipasi atau pencegahan mumculnya persoalan dalam pendidikan.
Ada kesan sekolah atau pendidikan dipinggirkan dalam artian jika ada persoalan yang muncul, semua sebab musabab dianggap hanya dari kelemahan elemen elemen yang ada di sekolah. Akibatnya semua elemen menumpakan penyelesaian persoalan seakan akan menjadi tugas dan tanggung jawab sekolah. Sekolah atau lembaga pendidikan merupakan open system yaitu suatu sistem tata organisasi yang sangat terbuka sehingga sangat mudah dipengaruhi oleh pihak pihak luar. Artinya apa yang terjadi di dalam sekolah atau lembaga pendidikan terdapat faktor dominan dari pihak luar pendidikan.
Islam mengajarkan perdamaian, toleransi dan jauh dari perilaku radikal yang merugikan diri sendiri dan orang lain. Ajaran aman, nyaman dan damai dalam Islam adalah sebagaimana disabdakan Rasulullah Saw, bahwa “al-Muslimu man salima al- Muslimuna min yadihi wa lisanihi”. Muslim sejati adalah seseorang yang membuat nyaman umat Islam yang lain dari kejahahatan tangan dan lisannya.  









BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Pendidikan memiliki tujuan dan fungsi sangat mulia, yaitu memanusiakan manusia, dalam arti menjadikan manusia lebih berperan sebagai manusia, lebih mengetahui serta memahamai nilai-nilai dan hakikat sebagai manusia. Hal ini menjadi penting, karena jika manusia tidak mengetahui dan memahamai nilai- nilai kemanusiaan, maka akan jatuh ke dalamsifat-sifat hewan atau binatang. Antara manusia dan binatang hakikatnya sama, perbedaannya hanya dalam hal optimalisasi penggunaan rasio atau akal saja.
Proses pendidikan tidak boleh dikotori dengan sikap dan perilaku yang bertolak belakang dengan visi dan misi pendidikan yang sebenarnya. Semua elemen dalam proses pendidikan harus saling mendukung dan bersinergi secara positif sehingga akan melahirkan kualitas proses dan produk pendidikan sesuai yang dicita-citakan.
Radikalisme dalam pendidikan memiliki potensi ancaman yang sangat berbahasa dalam mewujudkan kelangsungan kualitas pendidikan. Radikalisme bisa muncul kapan saja, dari mana saja dan dapat dilakukan oleh siapa saja. Oleh sebab itu radikalsime perlu di sikapi secara utuh dan komprehensif yang meliputi berbagai aspek melakukan sinergi secara rapi dan tepat.
Untuk melahirkan cara pandang yang tepat untuk membendung radikalisme perlu belajar dari ideologi Ahlussumah Wal Jamaah atau NU yang dicirikan dengan empat  hal :
Pertama, Tawasuth (moderat).
Kedua, Tawazun ( keseimbangan ).
Ketiga, I’ Thidal (keadilan).
Keempat, Tatharruf (universsalisme).


[1] Azhar Abdullah, “ Gerakan Radikalisme  Dalam Islam “, Addin, Vol. 10. No. 1. 2016. Hal 2. ( Di akses tanggal 9 November 2017)
[2] Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan  Nasional.
[3] M. Saekan Muchith, Ilmu Pendidikan Islam (Kudus: STAIN Kudus Press, 2007), hlm. 17.
[4] Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan  Nasional
[5] M. Saekan Muchith, Pendidikan Tanpa Kenyataan. (Semarang: Unnes Press,  2008)
[6] M. Saekan Muchit,” Radikalisme Dalam Dunia Pendidikan “, Addin, vol. 10. No. 1. 2016. Hal. 170. ( di akses tanggal 9 November 2017)
[7] M.Z. Mubarak, Genealogi Islam Radikal di Indonesia (Jakarta: LP3ES, 2008), hlm. 25
[8] Sun Choirul  Ummah  Msi, “ Akar  Radikalisme Islam Di Indonesia “ Humanika, No. 12. 2012. Hal 118. (di akses tanggal 9 November 2017.)
[9] Abdul Munif, “ Menanggkal Radikalisme Agama Di Sekolah”. Jurnal Pendidikan Islam, Vol. 1. No. 2. 2012, Hal 165. ( Diakses Tanggal 11 November 2017).
[10] M. Saekan Muchit,” Radikalisme Dalam Dunia Pendidikan “, Addin, vol. 10. No. 1. 2016. Hal. 176. ( Diakses Tanggal 9 November 2017).