Selasa, 22 Mei 2018

PENDIDIKAN DAN RADIKALISME





 BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang Masalah
Jikalau kita membuka lembaran sejarah Islam di masa klasik, akan ditemukan fakta bahwa radikalisme sebagai suatu gerakan bukanlah fenomena baru dalam dunia Islam modern. Sebutlah sebuah aliran keagamaan dalam Islam, yaitu Khawarij adalah contoh aliran kalam yang paling terkenal dengan fahamnya yang radikal, dan tidak kenal kompromi. hal ini dibuktikan dengan tindakan kekerasan dalam mencapai tujuannya, yaitu diantaranya melakukan pembunuhan terhadap sahabat Nabi pasca Perjanjian atau Tahkim (arbitrase) yang dianggap telah menyeleweng dari ajaran Allah.[1]
Walaupun istilah radikalisme diproduksi oleh Barat, namun gejala dan perilaku kekerasan itu dapat ditemukan dalam tradisi dan sejarah umat Islam. Fenomena radikalisme dalam Islam sebenarnya diyakini sebagai produk atau ciptaan abad ke-20 di dunia Islam, terutama di Timur Tengah, sebagai hasil dari krisis identitas yang berujung pada reaksi dan resistensi terhadap Barat yang melebarkan kolonialisme dan imperialime ke dunia Islam. Terpecahnya dunia Islam ke dalam berbagai Negara bangsa, dan proyek modernisasi yang dicanangkan oleh pemerintahan baru berhaluan Barat, mengakibatkan umat Islam merasakan terkikisnya ikatan agama dan moral yang selama ini mereka pegang teguh. Hal ini menyebabkan munculnya gerakan  radikal dalam Islam yang menyerukan kembali ke ajaran Islam yang murni sebagai sebuah penyelesaian  dalam menghadapi kekalutan hidup. Tidak hanya sampai disitu, gerakan ini melakukan perlawanan terhadap rezim yang dianggap secular dan menyimpang dari ajaran agama yang murni.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    PENDIDIKAN
Pendidikan memiliki tujuan dan fungsi sangat mulia, yaitu memanusiakan manusia, dalam arti menjadikan manusia lebih berperan sebagai manusia, lebih mengetahui serta memahamai nilai-nilai dan hakikat sebagai manusia. Hal ini menjadi penting, karena jika manusia tidak mengetahui dan memahamai nilai- nilai kemanusiaan, maka akan jatuh ke dalamsifat-sifat hewan atau binatang. Antara manusia dan binatang hakikatnya sama, perbedaannya hanya dalam hal optimalisasi penggunaan rasio atau akal saja.
 Dalam istilah bahasa Arab dinyatakan, al-insanu hayawanu an-na iq, manusia adalah hewan yang berpikir. Atau dikatakan juga, human is animal rational, manusia adalah hewan yang berpikir. Pendidikan adalah suatu proses yang sangat penting bagi kelangsungan hidup dan kehidupan manusia. Nanang Martono mengatakan bahwa pendidikan adalah tema yang sangat menarik bagi manusia, karena pendidikan adalah sebuah lembaga vital sekaligus menyediakan investasi jangka panjang bagi semua bangsa di dunia.
Pendidikan juga dapat dikatakan suatu indikator kemajuan peradaban suatu bangsa. Mengapa demikian? Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-undangNomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan bagi dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.[2]
Sungguh luar biasa hal yang harus dihasilkan dari proses pendidikan. Melihat proses dan target yang harus dicapai, maka dapat dikatakan bahwa tidak pernah ada suatu proses yang memiliki target indah dan mulia dibandingkan proses pendidikan. Ruang lingkup pendidikan sangat luas dan kompleks. Menueur, sebagaimana dikutip oleh M. Saekan Muchith dalam buku Ilmu Pendidikan Islam, menjelaskan secara rinci bahwa pendidikan setidaknya memiliki lima aspek atau elemen, yaitu:[3]
a. Usaha yang dilakukan benar-benar atas dasar kesadaran
b. Ada pendidik atau orangyang membimbing
c. Ada peserta didik, yaitu orang yang dibimbing atau orang yang       diarahkan
d. Bimbingan benar-benar dimaksudkan untuk mencapai tujuan yang positif
e. Usaha yang dicapai selalu memberdayakan sarana untuk mengoptimalkan tujuan yang ingin dicapai
Hal ini sejalan dengan tujuan pendidikan nasional yang dirumuskan dalam Pasal 3 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa pendidikan berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yangberiman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.[4]
Menurut Langeveled, sebagaimana dikutip oleh M. Saekan Muchith dalam buku Pendidikan Tanpa Kenyataan, pendidikan adalah proses bimbingan yang dilakukan oleh orang dewasa dengan tujuan untuk mendewasakan orang lain yang dicirikan dengan tiga karakteristik umum, yaitu: (a) stabil, yaitu sikap dan kepribadianyang tetap dalam segala situasi dan kondisi, baik kondisi normal, senang, maupun susah; (b) tanggung jawab, yaitu orang yang memiliki kemampuan memberikan argumentasi kuat terhadapapa yang telah dikatakan dan dilaksanakan; (c) mandiri, yaitu kemampuan untuk mengambil keputusan atas dasar kemampuan yang dimiliki sendiri, bukan karena paksaan dari pihak lain.[5]
Dapat dikatakan bahwa profil atau produk dari pendidikan adalah sosok atau profil manusia yang utuh, komprehensif, dan sempurna, baik dari aspek jasmaniah maupun rohaniah, baik dari aspek keterampilan intelektual maupun keterampilan moral dan motorik, mulai dari cara bicara sampai cara menjalankan tugas atau aktivitas. Pendidikan benar-benar mengajarkan dan membimbing manusia untuk lebih memahami realitas serta mampu menghadapi problem hidup dan kehidupan. Kesalahan dalam praktik pendidikanakan berakibat fatal bagi kelangsungan kehidupan bangsa.
Proses pendidikan tidak boleh dikotori dengan sikap dan perilaku yang bertolak belakang dengan visi dan misi pendidikan yang sebenarnya. Semua elemen dalam proses pendidikan harus saling mendukung dan bersinergi secara positif sehingga akan melahirkan kualitas proses dan produk pendidikan sesuai yang dicita-citakan.
B.     RADIKALISME
Radikalisme secara umum dipahami sebagai suatu gerakan sosial yang mengarah pada hal-hal yang negatif. Setidaknya persepsi itu yang dikonsepkan oleh Lukman Hakim, Wakil Kepala LIPI, dalam pengantar buku Islam dan Radikalisme di Indonesia. Dari persepsi seperti itu, maka muncul istilah ekstrem, anti Barat, anti Amerika, dan teroris.[6]
Dari perspektif bahasa, sebenarnya radikal jauh berbeda dengan teroris. Sebab, radikal adalah proses secara sungguh- sungguh untuk melatih keberhasilan atau cita-cita yang dilakukan dengan cara-cara yang positif. Sementara itu, terorisme berasal dari kata teror yang bermakna menakut-nakuti pihak lain. Oleh sebab itu, teror selalu dilakukan dengan cara-cara negatif dan menakutkan pihak lain.
 Seiring dengan dinamika dan pola gerakan kelompok- kelompok di masyarakat, akhirnya antara radikal dan teror menjadi satu makna, yaitu radikal merupakan embrio dari gerakan teror. Jika memiliki pola pikir radikal, maka berpeluang besar untuk melahirkan aksi teror.
 Banyak peristiwa di Indonesia dimana terorisme dan radikal menjadi satu sehingga masyarakat umum tidak usah repot-repot membedakan antara radikalisme dan terorisme. Akar atau sumber radikalisme yang berujung dengan terorisme lebih didominasi dari dogma agama yang dipahami secara sempit oleh pemeluknya. Sebab, dalam doktrin kitab agama, khususnya agama Islam,
Secara tekstualis dijelaskan tentang teks yang mudah dipahami untuk melahirkan gerakan radikal yang berujung terorisme. Banyak contoh ayat dalam Al- Qur’an yang secara tekstualis berpotensi mengarah pada gerakan radikal, antara lain sebagai berikut.
Pertama, perintah secara tekstual untuk memancung orang kafir apabila bertemu. “Apabila kamu bertemu dengan orang orang kafir (dimedan perang), maka pukullah batang leher mereka. Selanjutnya apabila kamu telah mengalahkan mereka, tawanlah mereka dan setelah itu kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan sampai perang selesai. Demikianlah dan sekiranya Allah menghendaki, niscaya Dia membinasakan mereka, tetapi Dia hendak menguji kamu satu sama lainnya. Dan, orang-orang yang gugur di jalan Allah, Allah tidak menyia- nyiakan amal mereka.” (Q.S. Muhammad [47]: 4).
 Kedua, perintah perang sampai tidak ada fitnah di muka bumi. “Dan, perangilah mereka itu sampai tidak ada lagi fitnah dan agama hanya bagi Allah semata. Jika mereka berhenti, maka tidak ada lagi permusuhan kecuali terhadap orang-orang zalim.” (Q.S. al-Baqarah [2]: 193
Ketiga, perintah untuk memerangi orang-orang yang tidak beriman. “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian, mereka yang tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan Allah dan rasul-Nya, dan mereka yang tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah) yang telah diberikan kitab, hingga mereka membayar jizyah (pajak) dengan patuh, sedang mereka dalam keadaan tunduk.” (Q.S. at- Taubah [9]: 29).
 Contoh ketiga ayat tersebut secara tekstualis berpotensi melahirkan  pola pikir  radikal yang berujung pada gerakan terorisme. Sebab, seakan-akan agama membenarkan untuk membunuh orang kafir dan membolehkan memerangi orang- orang yang dianggap tidak beriman atau tidak beragama dengan benar. Dapat dikatakan bahwa munculnya radikalisme disebabakan oleh cara pandang atau wawasan yang sempit terhadap agama.

1.    Akar Radikalisme Islam
Radikalisme Islam pada zaman dulu banyak dilatarbelakangi oleh adanya kelemahan umat Islam baik pada bidang aqidah, syariah maupun perilaku, sehingga radikalisme Islam merupakan ekspresi dari tajdid (pembaruan), islah (perbaikan), dan jihad (perang) yang dimaksudkan untuk mengembalikan muslim pada ruh Islam yang sebenarnya. Tetapi akar radikalisme Islam di zaman modern ini sangat kompleks.
Hasan menganggap bahwa radikalisme Islam merupakan strategi baru melakukan reaksi dominasi Barat terhadap dunia Islam yang kemudian memunculkan aktivisme berbendera agama untuk menuntut reposisi peran Islam dalam ruang politik kenegaraan, yang upaya ini telah dirintis melalui pemikiran Hasan al-Banna pendiri Ikhwanul Muslimin di Mesir dan Abul A’la Maududi pendiri Jama’at- i Islami di Indo Pakistan. Radikalisme Islam juga merupakan bahasa protes yang digunakan oleh orang-orang yang terpinggirkan dalam arus deras modernisasi dan globalisasi.
Mubarak menyebutkan dua penyebab utama terjadinya radikalisme agama khususnya pada Islam yakni faktor deprivasi relatif dan terjadinya disorientasi nilai-nilai yang diakibatkan modernisasi.[7] Ancok menyatakan bahwa radikalisme Islam terjadi disebabkan faktor ketidak adilan baik ketidakadilan prosedural, distributif, maupun interaksional.
Akar radikalisme dapat ditilik dari beberapa penyebab, antara lain:[8]
Pertama, adanya tekanan politik penguasa terhadap keberadaannya. Di beberapa belahan dunia, termasuk Indonesia fenomena radikalisme atau fundamentalisme muncul sebagai akibat otoritarianisme. Dalam kasus Orde Baru, negara selalu membabat habis yang diidentifikasi sebagai gerakan radikal.
Kedua, faktor emosi keagamaan. Harus diakui bahwa salah satu penyebab gerakan radikalisme adalah faktor sentimen keagamaan, termasuk di dalamnya adalah solidaritas keagamaan untuk kawan yang tertindas oleh kekuatan tertentu. Lebih tepat dikatakan hal itu sebagai faktor emosi keagamaannya dan bukan agama (wahyu suci yang absolut), karena gerakan radikalisme selalu mengibarkan bendera dan simbol agama seperti dalih membela agama, jihad, dan mati sahid. Dalam konteks ini yang dimaksud dengan emosi keagamaan adalah agama sebagai pemahaman realitas yang sifatnya interpretatif, yakni nisbi dan subjektif.
Ketiga, faktor kultural ini juga memiliki andil yang cukup besar yang melatarbelakangi munculnya radikalisme. Hal ini wajar karena memang secara kultural, sebagaimana diungkapkan Musa Asy’ari bahwa di dalam masyarakat selalu diketemukan usaha untuk melepaskan diri dari jeratan jaring-jaring kebudayaan tertentu yang dianggap tidak sesuai. Sedangkan yang dimaksud faktor kultural di sini adalah sebagai antitesis terhadap budaya sekularisme. Budaya Barat merupakan sumber sekularisme yang dianggap sebagai  musuh yang harus dihilangkan dari bumi. Sedangkan fakta sejarah memperlihatkan adanya dominasi Barat dari berbagai aspeknya atas negeri-negeri dan budaya Muslim.
Keempat, faktor ideologis Antiwesternisme. Westernisme merupakan suatu pemikiran yang membahayakan Muslim dalam mengaplikasikan syariat Islam, sehingga simbol-simbol Barat harus dihancurkan demi penegakan syariat Islam. Walaupun motivasi dan gerakan anti-Barat tidak bisa disalahkan dengan alasan keyakinan keagamaan tetapi jalan kekerasan yang ditempuh kaum radikalisme justru menunjukkan ketidakmampuan mereka dalam memosisikan diri sebagai pesaing dalam budaya dan peradaban. Yudi Latif menandaskan, munculnya terorisme disebabkan karena tidak berjalannya sense of conseption of justice. Teroris muncul karena munculnya skeptisisme terhadap demokrasi. Demokrasi dianggap sebagai sistem negara kafir.
Kelima, faktor kebijakan pemerintah. Ketidakmampuan pemerintah di negara- negara Islam untuk bertindak memperbaiki situasi atas berkembangnya frustasi dan kemarahan sebagian umat Islam disebabkan dominasi ideologi, militer maupun ekonomi dari negera-negara besar. Dalam hal ini elit-elit pemerintah di negeri negeri Muslim belum atau kurang dapat mencari akar yang menjadi penyebab munculnya tindak kekerasan (radikalisme) sehingga tidak dapat mengatasi problematika sosial yang dihadapi umat. Hal yang demikian diungkapkan oleh Mahathir Muhammad dalam sambutannya pada acara pertemuan negara-negara OKI di Kuala Lumpur Malaysia tanggal 1–3 April Di negeri ini bisa dilihat tidak tuntasnya penyelesaian masalah korupsi, aset negara yang banyak lari ke luar negeri, pencaplokan wilayah Indonesia oleh Malaysia, dan disedotnya kekayaan negara oleh konspirator politik.
Keenam, faktor media massa (pers) Barat yang selalu memojokkan umat Islam juga menjadi faktor munculnya reaksi dengan kekerasan yang dilakukan oleh umat Islam. Propaganda-propaganda lewat pers memang memiliki kekuatan dahsyat dan sangat sulit untuk ditangkis sehingga sebagian “ekstrim” yaitu perilaku radikal sebagai reaksi atas apa yang ditimpakan kepada komunitas Muslim. Lihat misalnya film Fitna, penggambaran tentang kiamat (film 2012), dan lainnya.
Pola pikir normatif dan pola pikir hitam putih merupakan faktor dominan lahirnya radikalisme dan terorisme. Sejarah Islam mencatat bahwa akibat polapikir yang sempit terhadap terminologi kafir, maka seorang ulama besar yang hafal Al-Qur’an, rajin shalat malam, dan rajin puasa sunah Senin- Kamis yang bernama Abdurrahman bin Mulzam tega membunuh Sayidina Ali bin Abi Thalib karena Sayidina Ali bin Abi Thalib dianggap kafir atau tidak beragama secara benar hanya gara-gara melakukan perundingan damai dengan Muawiyah.
 Radikalisme dalam agama akhirnya menjalar ke aspek pendidikan, dimana salah satu atau beberapa elemen dalam pendidikan sering melakukan radikalisme yang menyebabkan teror atau rasa takut para elemen pendidikan untuk melaksanakan tugas sebagai pendidik dan tenaga kependidikan. Guru kurang maksimal melaksanakan tugasnya sebagai pendidik hanya agara gara takut diancam pihak pihak lain uangg dianggap merasa dirugikan. Seorang kepala sekolah kurang optimal menjalankan tugasnya sebagai pimpinan lembaga pendidikan karena takut ditekan atau diancam oleh atasannya. Akibatnya proses pendidikan dan proses kepemimpinan kurang sesuai harapan karena ada intervensi yang bersifat mengancam dari pihak pihak lain diluar pendidikan.

2.      Penyebaran Faham Radikalisme
Islam Para pendukung faham Radikalisme Islam menggunakan berbagai sarana dan media untuk menyebarluaskan faham mereka, baik dalam rangka pengkaderan internal anggota maupun untuk kepentingan sosialisasi kepada masyarakat luas. Berikut ini sarana yang ditempuh untuk menyebarluaskan faham radikalisme yaitu :[9]
1. Melalui pengkaderan organisasi. Pengaderan organisasi adalah kegiatan pembinaan terhadap anggota dan atau calon anggota dari organisasi simpatisan atau pengusung radikalisme. Pertama Pengkaderan internal. Pengkaderan internal biasanya dilakukan dalam bentuk training calon anggota baru dan pembinaan anggota lama. Rekruitmen calon anggota baru dilakukan baik secara individual maupun kelompok. Rekrutmen individual biasanya dilakukan oleh organisasi radikal Islam bawah tanah seperti NII, melalui apa yang sering disebut dengan pencucian otak (brainwashing). Hampir semua korban pencucian otak dari keompok ini menceritakan pengalamannya terkait dengan doktrinasi ajaran atau faham mereka yang sarat dengan muatan radikalisme, seperti diperbolehkannya melakukan kegiatan merampok untuk kepentingan NII.
2. Melalui masjid-masjid yang berhasil “dikuasai”. Kelompok Islam radikal juga sangat lihai memanfaatkan masjid yang kurang “diurus” oleh masyarakat sekitar. Kesan rebutan masjid ini pernah menjadi berita heboh beberapa waktu lalu.11 Pemanfaatan masjid sebagai tempat untuk menyebarkan ideologi radikalisme Islam terungkap berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan oleh CSRC dan dimuat di harian Republika pada tanggal 10 Januari 2010. Penelitian sejenis tampaknya perlu dilakukan di Yogyakarta, mengingat kota ini juga tidak luput sebagai basis beberapa gerakan Islam radikal.
3. Melalui majalah, buletin, dan booklet. Penyebaran ideologi radikalisme juga dilakukan melalui majalah, buletin dan booklet. Salah satu buletin yang berisi ajakan untuk mengedepankan jihad dengan kekerasan adalah buletin “Dakwah & Jihad” yang diterbitkan oleh Majelis Ar-Rayan Pamulang di bawah asuhan Abu Muhammad Jibril, pentolan MMI, kakak kandung Irfan S Awwas, Amir MMI sekarang ini.
4. Melalui penerbitan buku-buku. Faham radikalisme juga disebarkan melalui buku-buku, baik terjemahan dari bahasa Arab, yang umumnya ditulis oleh para penulis Timur Tengah, maupun tulisan mereka sendiri. Tumbangnya pemerintahan Soeharto membuat kelompok-kelompok radikal yang dulu tiarap menjadi bangun kembali. Euforia reformasi ternyata juga berimbas dengan masuknya buku-buku berideologi radikal seperti jihad dari Timur Tengah ke Indonesia.
5. Melalui internet. Selain menggunakan media kertas, kelompok radikal juga memanfaatkan dunia maya untuk menyebarluaskan buku-buku dan informasi tentang jihad

3. Pencegahan Radikalisme.
Radikalisme bisa menimpa siapa saja, kapan saja dan dimana saja. Tidak peduli anak anak, remaja, orang dewasa, tidak pandang mereka miskin atau kaya, tidak pandang mereka kelompok elit ataupun rakyat jelata. Radikalisme lebih banyak disebabkan oleh adanya faham atau pemikiran yang sempit terhadap suatu fenomena. Oleh sebab itu radikalisme alan bisa ditelan atau dieliminir bahkan dihilangkan hatus diawali dati pembinaan atau bimbingan cara pandang atau cara fikir terhadap suatu fenomena. Nur Syam (2009) dalam buku Tantangan Multikulturalisme Indonesia memiliki analisis yang cukup menarik bahwa untuk melahirkan cara pandang yang tepat perlu belajar dari ideologi Ahlussumah Wal Jamaah atau NU yang dicirikan dengan empat  hal;[10]
Pertama, Tawasuth (moderat). Doktrin ini mengajarkan bahwa manusia memiliki kebebasan untuk melaksanakan suatu aktivitas tetapi sebebas apapun manusia masih dibatasi oleh kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa. Artinya dapam meraih keuksesan, manusia wajib ihtiyar secara optimal tetapi jangan lupa bahwa Allah swt juga ikut menentukan keberhasilan. Setelah berusaha manusia wajib berdoa dan pasrah kepada Allah swt.
Kedua, Tawazun ( keseimbangan). Doktrin ini mengajarkan bahwa manusia dalam memandang suatu realitas tidak boleh bersifat ektrem baik kekiri atupun ke kanan. Artinya manusia yang bauk tidak terlalu berlebihan pada saat senang atau benci kepada sesuatu. Hal ini didasarkan asumsi bahwa sebaik baik menurut pandangan manusia belum tentu baik menurut Allah swt, sebaliknya sejelek jelek dalam pandangan manusia juga belum tentu jelek menurut Allah swt.
Ketiga, I’ Thidal (keadilan). Doktrin ini mengajarkan bahwa diantara sesama manusia harus saling memebrikan kepercayaan dan kepercayaan yang dibangun harus memberikan persn secara proporsional. Dunia akan cepat hancur jika masing masong elemen tidak memiliki kesadaran untuk melaksanakan peran masing masing secara proporsional.
Keempat, Tatharruf (universsalisme). Doktrin ini mengajarkan Setiap  manusia agar lebih mengedepankan pemahaman islam yang bersifat universal (global). Kebenaran Islam dilihat dari norma norma yang bersifat umum seperti keadilan, kemanusiaan, keselamatan dan kesejahteraan.
 Langkah berikutnya yang bisa dilakukan untuk mengeliminir atau membendung gerakan radikalisme dalam pendidikan adalah dengan cara memerkuat pola jaringan kerjasama internal sekolah dan jaringan eksternal antara sekolah dengan masyarakat  dan orang tua siswa.
Kerjasama internal adalah kerjasama yang rapi dan kompak antara pimpinan kepada guru, antar sesama guru dalam menghadapi, memahami dan menyelesaikanersoapan siswa. Lengkah langkah yang dilakukan antara guru satu dengan lainnya, antara pimpinan satu dengan yang lain harus singkron sehingga tidak muncul kesan berbeda beda dalam melihat persoalan siswa.
Kerjasama antar sekolah dengan masyarakat dan orang tua adalah pola koordinasi secara rutin dan sistematis jika terdapat persoalan yang muncul. Kerjasama dilakukan sesuai dengan jenis problem dan kepentingan yang ada, dan kerjasama tidak hanya dilakukan dalam konteks memberikan solusi atas persoalan yang muncul tetapi juga harus dilakukan dengan tujuan antisipasi atau pencegahan mumculnya persoalan dalam pendidikan.
Ada kesan sekolah atau pendidikan dipinggirkan dalam artian jika ada persoalan yang muncul, semua sebab musabab dianggap hanya dari kelemahan elemen elemen yang ada di sekolah. Akibatnya semua elemen menumpakan penyelesaian persoalan seakan akan menjadi tugas dan tanggung jawab sekolah. Sekolah atau lembaga pendidikan merupakan open system yaitu suatu sistem tata organisasi yang sangat terbuka sehingga sangat mudah dipengaruhi oleh pihak pihak luar. Artinya apa yang terjadi di dalam sekolah atau lembaga pendidikan terdapat faktor dominan dari pihak luar pendidikan.
Islam mengajarkan perdamaian, toleransi dan jauh dari perilaku radikal yang merugikan diri sendiri dan orang lain. Ajaran aman, nyaman dan damai dalam Islam adalah sebagaimana disabdakan Rasulullah Saw, bahwa “al-Muslimu man salima al- Muslimuna min yadihi wa lisanihi”. Muslim sejati adalah seseorang yang membuat nyaman umat Islam yang lain dari kejahahatan tangan dan lisannya.  









BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Pendidikan memiliki tujuan dan fungsi sangat mulia, yaitu memanusiakan manusia, dalam arti menjadikan manusia lebih berperan sebagai manusia, lebih mengetahui serta memahamai nilai-nilai dan hakikat sebagai manusia. Hal ini menjadi penting, karena jika manusia tidak mengetahui dan memahamai nilai- nilai kemanusiaan, maka akan jatuh ke dalamsifat-sifat hewan atau binatang. Antara manusia dan binatang hakikatnya sama, perbedaannya hanya dalam hal optimalisasi penggunaan rasio atau akal saja.
Proses pendidikan tidak boleh dikotori dengan sikap dan perilaku yang bertolak belakang dengan visi dan misi pendidikan yang sebenarnya. Semua elemen dalam proses pendidikan harus saling mendukung dan bersinergi secara positif sehingga akan melahirkan kualitas proses dan produk pendidikan sesuai yang dicita-citakan.
Radikalisme dalam pendidikan memiliki potensi ancaman yang sangat berbahasa dalam mewujudkan kelangsungan kualitas pendidikan. Radikalisme bisa muncul kapan saja, dari mana saja dan dapat dilakukan oleh siapa saja. Oleh sebab itu radikalsime perlu di sikapi secara utuh dan komprehensif yang meliputi berbagai aspek melakukan sinergi secara rapi dan tepat.
Untuk melahirkan cara pandang yang tepat untuk membendung radikalisme perlu belajar dari ideologi Ahlussumah Wal Jamaah atau NU yang dicirikan dengan empat  hal :
Pertama, Tawasuth (moderat).
Kedua, Tawazun ( keseimbangan ).
Ketiga, I’ Thidal (keadilan).
Keempat, Tatharruf (universsalisme).


[1] Azhar Abdullah, “ Gerakan Radikalisme  Dalam Islam “, Addin, Vol. 10. No. 1. 2016. Hal 2. ( Di akses tanggal 9 November 2017)
[2] Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan  Nasional.
[3] M. Saekan Muchith, Ilmu Pendidikan Islam (Kudus: STAIN Kudus Press, 2007), hlm. 17.
[4] Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan  Nasional
[5] M. Saekan Muchith, Pendidikan Tanpa Kenyataan. (Semarang: Unnes Press,  2008)
[6] M. Saekan Muchit,” Radikalisme Dalam Dunia Pendidikan “, Addin, vol. 10. No. 1. 2016. Hal. 170. ( di akses tanggal 9 November 2017)
[7] M.Z. Mubarak, Genealogi Islam Radikal di Indonesia (Jakarta: LP3ES, 2008), hlm. 25
[8] Sun Choirul  Ummah  Msi, “ Akar  Radikalisme Islam Di Indonesia “ Humanika, No. 12. 2012. Hal 118. (di akses tanggal 9 November 2017.)
[9] Abdul Munif, “ Menanggkal Radikalisme Agama Di Sekolah”. Jurnal Pendidikan Islam, Vol. 1. No. 2. 2012, Hal 165. ( Diakses Tanggal 11 November 2017).
[10] M. Saekan Muchit,” Radikalisme Dalam Dunia Pendidikan “, Addin, vol. 10. No. 1. 2016. Hal. 176. ( Diakses Tanggal 9 November 2017).


0 komentar:

Posting Komentar