BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Jikalau kita membuka lembaran
sejarah Islam di masa klasik, akan ditemukan fakta bahwa radikalisme sebagai
suatu gerakan bukanlah fenomena baru dalam dunia Islam modern. Sebutlah sebuah
aliran keagamaan dalam Islam, yaitu Khawarij adalah contoh aliran kalam yang
paling terkenal dengan fahamnya yang radikal, dan tidak kenal kompromi. hal ini
dibuktikan dengan tindakan kekerasan dalam mencapai tujuannya, yaitu
diantaranya melakukan pembunuhan terhadap sahabat Nabi pasca Perjanjian atau
Tahkim (arbitrase) yang dianggap telah menyeleweng dari ajaran Allah.[1]
Walaupun istilah radikalisme diproduksi oleh Barat, namun gejala
dan perilaku kekerasan itu dapat ditemukan dalam tradisi dan sejarah umat
Islam. Fenomena radikalisme dalam Islam sebenarnya diyakini sebagai produk atau
ciptaan abad ke-20 di dunia Islam, terutama di Timur Tengah, sebagai hasil dari
krisis identitas yang berujung pada reaksi dan resistensi terhadap Barat yang
melebarkan kolonialisme dan imperialime ke dunia Islam. Terpecahnya dunia Islam
ke dalam berbagai Negara bangsa, dan proyek modernisasi yang dicanangkan oleh
pemerintahan baru berhaluan Barat, mengakibatkan umat Islam merasakan
terkikisnya ikatan agama dan moral yang selama ini mereka pegang teguh. Hal ini
menyebabkan munculnya gerakan radikal
dalam Islam yang menyerukan kembali ke ajaran Islam yang murni sebagai sebuah
penyelesaian dalam menghadapi kekalutan
hidup. Tidak hanya sampai disitu, gerakan ini melakukan perlawanan terhadap
rezim yang dianggap secular dan menyimpang dari ajaran agama yang murni.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENDIDIKAN
Pendidikan memiliki tujuan dan
fungsi sangat mulia, yaitu memanusiakan manusia, dalam arti menjadikan manusia
lebih berperan sebagai manusia, lebih mengetahui serta memahamai nilai-nilai
dan hakikat sebagai manusia. Hal ini menjadi penting, karena jika manusia tidak
mengetahui dan memahamai nilai- nilai kemanusiaan, maka akan jatuh ke
dalamsifat-sifat hewan atau binatang. Antara manusia dan binatang hakikatnya sama,
perbedaannya hanya dalam hal optimalisasi penggunaan rasio atau akal saja.
Dalam istilah bahasa Arab dinyatakan,
al-insanu hayawanu an-na iq, manusia adalah hewan yang berpikir. Atau dikatakan
juga, human is animal rational, manusia adalah hewan yang berpikir. Pendidikan
adalah suatu proses yang sangat penting bagi kelangsungan hidup dan kehidupan
manusia. Nanang Martono mengatakan bahwa pendidikan adalah tema yang sangat
menarik bagi manusia, karena pendidikan adalah sebuah lembaga vital sekaligus
menyediakan investasi jangka panjang bagi semua bangsa di dunia.
Pendidikan juga dapat dikatakan
suatu indikator kemajuan peradaban suatu bangsa. Mengapa demikian? Menurut
Pasal 1 ayat (1) Undang-undangNomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan
Nasional, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan bagi
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.[2]
Sungguh luar biasa hal yang harus
dihasilkan dari proses pendidikan. Melihat proses dan target yang harus
dicapai, maka dapat dikatakan bahwa tidak pernah ada suatu proses yang memiliki
target indah dan mulia dibandingkan proses pendidikan. Ruang lingkup pendidikan
sangat luas dan kompleks. Menueur, sebagaimana dikutip oleh M. Saekan Muchith
dalam buku Ilmu Pendidikan Islam, menjelaskan secara rinci bahwa pendidikan
setidaknya memiliki lima aspek atau elemen, yaitu:[3]
a. Usaha yang dilakukan benar-benar atas dasar kesadaran
b. Ada
pendidik atau orangyang membimbing
c. Ada peserta didik, yaitu orang yang dibimbing atau orang yang diarahkan
d. Bimbingan benar-benar dimaksudkan untuk mencapai tujuan yang positif
e. Usaha yang dicapai selalu memberdayakan sarana untuk mengoptimalkan
tujuan yang ingin dicapai
Hal ini sejalan dengan tujuan pendidikan nasional yang dirumuskan
dalam Pasal 3 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan
Nasional bahwa pendidikan berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak
serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yangberiman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.[4]
Menurut Langeveled, sebagaimana dikutip oleh M. Saekan Muchith
dalam buku Pendidikan Tanpa Kenyataan, pendidikan adalah proses bimbingan yang
dilakukan oleh orang dewasa dengan tujuan untuk mendewasakan orang lain yang
dicirikan dengan tiga karakteristik umum, yaitu: (a) stabil, yaitu sikap dan
kepribadianyang tetap dalam segala situasi dan kondisi, baik kondisi normal,
senang, maupun susah; (b) tanggung jawab, yaitu orang yang memiliki kemampuan
memberikan argumentasi kuat terhadapapa yang telah dikatakan dan dilaksanakan;
(c) mandiri, yaitu kemampuan untuk mengambil keputusan atas dasar kemampuan
yang dimiliki sendiri, bukan karena paksaan dari pihak lain.[5]
Dapat dikatakan bahwa profil atau produk dari pendidikan adalah
sosok atau profil manusia yang utuh, komprehensif, dan sempurna, baik dari
aspek jasmaniah maupun rohaniah, baik dari aspek keterampilan intelektual
maupun keterampilan moral dan motorik, mulai dari cara bicara sampai cara
menjalankan tugas atau aktivitas. Pendidikan benar-benar mengajarkan dan
membimbing manusia untuk lebih memahami realitas serta mampu menghadapi problem
hidup dan kehidupan. Kesalahan dalam praktik pendidikanakan berakibat fatal
bagi kelangsungan kehidupan bangsa.
Proses pendidikan tidak boleh dikotori dengan sikap dan perilaku
yang bertolak belakang dengan visi dan misi pendidikan yang sebenarnya. Semua
elemen dalam proses pendidikan harus saling mendukung dan bersinergi secara
positif sehingga akan melahirkan kualitas proses dan produk pendidikan sesuai
yang dicita-citakan.
B.
RADIKALISME
Radikalisme secara umum dipahami
sebagai suatu gerakan sosial yang mengarah pada hal-hal yang negatif.
Setidaknya persepsi itu yang dikonsepkan oleh Lukman Hakim, Wakil Kepala LIPI,
dalam pengantar buku Islam dan Radikalisme di Indonesia. Dari persepsi seperti
itu, maka muncul istilah ekstrem, anti Barat, anti Amerika, dan teroris.[6]
Dari perspektif bahasa, sebenarnya
radikal jauh berbeda dengan teroris. Sebab, radikal adalah proses secara
sungguh- sungguh untuk melatih keberhasilan atau cita-cita yang dilakukan
dengan cara-cara yang positif. Sementara itu, terorisme berasal dari kata teror
yang bermakna menakut-nakuti pihak lain. Oleh sebab itu, teror selalu dilakukan
dengan cara-cara negatif dan menakutkan pihak lain.
Seiring dengan dinamika dan pola gerakan
kelompok- kelompok di masyarakat, akhirnya antara radikal dan teror menjadi
satu makna, yaitu radikal merupakan embrio dari gerakan teror. Jika memiliki
pola pikir radikal, maka berpeluang besar untuk melahirkan aksi teror.
Banyak peristiwa di Indonesia dimana terorisme
dan radikal menjadi satu sehingga masyarakat umum tidak usah repot-repot
membedakan antara radikalisme dan terorisme. Akar atau sumber radikalisme yang
berujung dengan terorisme lebih didominasi dari dogma agama yang dipahami
secara sempit oleh pemeluknya. Sebab, dalam doktrin kitab agama, khususnya
agama Islam,
Secara tekstualis dijelaskan tentang
teks yang mudah dipahami untuk melahirkan gerakan radikal yang berujung
terorisme. Banyak contoh ayat dalam Al- Qur’an yang secara tekstualis
berpotensi mengarah pada gerakan radikal, antara lain sebagai berikut.
Pertama, perintah secara tekstual
untuk memancung orang kafir apabila bertemu. “Apabila kamu bertemu dengan orang
orang kafir (dimedan perang), maka pukullah batang leher mereka. Selanjutnya
apabila kamu telah mengalahkan mereka, tawanlah mereka dan setelah itu kamu
boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan sampai perang selesai.
Demikianlah dan sekiranya Allah menghendaki, niscaya Dia membinasakan mereka,
tetapi Dia hendak menguji kamu satu sama lainnya. Dan, orang-orang yang gugur
di jalan Allah, Allah tidak menyia- nyiakan amal mereka.” (Q.S. Muhammad [47]: 4).
Kedua, perintah perang sampai tidak ada fitnah
di muka bumi. “Dan, perangilah mereka itu sampai tidak ada lagi fitnah dan
agama hanya bagi Allah semata. Jika mereka berhenti, maka tidak ada lagi
permusuhan kecuali terhadap orang-orang zalim.” (Q.S. al-Baqarah [2]: 193
Ketiga, perintah untuk memerangi
orang-orang yang tidak beriman. “Perangilah orang-orang yang tidak beriman
kepada Allah dan hari kemudian, mereka yang tidak mengharamkan apa yang telah
diharamkan Allah dan rasul-Nya, dan mereka yang tidak beragama dengan agama
yang benar (agama Allah) yang telah diberikan kitab, hingga mereka membayar
jizyah (pajak) dengan patuh, sedang mereka dalam keadaan tunduk.” (Q.S. at-
Taubah [9]: 29).
Contoh ketiga ayat tersebut secara tekstualis
berpotensi melahirkan pola pikir radikal yang berujung pada gerakan terorisme.
Sebab, seakan-akan agama membenarkan untuk membunuh orang kafir dan membolehkan
memerangi orang- orang yang dianggap tidak beriman atau tidak beragama dengan
benar. Dapat dikatakan bahwa munculnya radikalisme disebabakan oleh cara
pandang atau wawasan yang sempit terhadap agama.
1.
Akar Radikalisme Islam
Radikalisme Islam pada zaman dulu banyak dilatarbelakangi oleh
adanya kelemahan umat Islam baik pada bidang aqidah, syariah maupun perilaku,
sehingga radikalisme Islam merupakan ekspresi dari tajdid (pembaruan), islah
(perbaikan), dan jihad (perang) yang dimaksudkan untuk mengembalikan muslim pada
ruh Islam yang sebenarnya. Tetapi akar radikalisme Islam di zaman modern ini
sangat kompleks.
Hasan menganggap bahwa radikalisme Islam merupakan strategi baru
melakukan reaksi dominasi Barat terhadap dunia Islam yang kemudian memunculkan
aktivisme berbendera agama untuk menuntut reposisi peran Islam dalam ruang
politik kenegaraan, yang upaya ini telah dirintis melalui pemikiran Hasan
al-Banna pendiri Ikhwanul Muslimin di Mesir dan Abul A’la Maududi pendiri
Jama’at- i Islami di Indo Pakistan. Radikalisme Islam juga merupakan bahasa
protes yang digunakan oleh orang-orang yang terpinggirkan dalam arus deras
modernisasi dan globalisasi.
Mubarak menyebutkan dua penyebab utama terjadinya radikalisme agama
khususnya pada Islam yakni faktor deprivasi relatif dan terjadinya disorientasi
nilai-nilai yang diakibatkan modernisasi.[7]
Ancok menyatakan bahwa radikalisme Islam terjadi disebabkan faktor ketidak adilan
baik ketidakadilan prosedural, distributif, maupun interaksional.
Akar radikalisme dapat ditilik dari beberapa penyebab, antara lain:[8]
Pertama, adanya
tekanan politik penguasa terhadap keberadaannya. Di beberapa belahan dunia,
termasuk Indonesia fenomena radikalisme atau fundamentalisme muncul sebagai
akibat otoritarianisme. Dalam kasus Orde Baru, negara selalu membabat habis
yang diidentifikasi sebagai gerakan radikal.
Kedua, faktor emosi
keagamaan. Harus diakui bahwa salah satu penyebab gerakan radikalisme adalah
faktor sentimen keagamaan, termasuk di dalamnya adalah solidaritas keagamaan
untuk kawan yang tertindas oleh kekuatan tertentu. Lebih tepat dikatakan hal
itu sebagai faktor emosi keagamaannya dan bukan agama (wahyu suci yang
absolut), karena gerakan radikalisme selalu mengibarkan bendera dan simbol
agama seperti dalih membela agama, jihad, dan mati sahid. Dalam konteks ini
yang dimaksud dengan emosi keagamaan adalah agama sebagai pemahaman realitas
yang sifatnya interpretatif, yakni nisbi dan subjektif.
Ketiga, faktor
kultural ini juga memiliki andil yang cukup besar yang melatarbelakangi
munculnya radikalisme. Hal ini wajar karena memang secara kultural, sebagaimana
diungkapkan Musa Asy’ari bahwa di dalam masyarakat selalu diketemukan usaha
untuk melepaskan diri dari jeratan jaring-jaring kebudayaan tertentu yang
dianggap tidak sesuai. Sedangkan yang dimaksud faktor kultural di sini adalah
sebagai antitesis terhadap budaya sekularisme. Budaya Barat merupakan sumber
sekularisme yang dianggap sebagai musuh
yang harus dihilangkan dari bumi. Sedangkan fakta sejarah memperlihatkan adanya
dominasi Barat dari berbagai aspeknya atas negeri-negeri dan budaya Muslim.
Keempat, faktor
ideologis Antiwesternisme. Westernisme merupakan suatu pemikiran yang
membahayakan Muslim dalam mengaplikasikan syariat Islam, sehingga simbol-simbol
Barat harus dihancurkan demi penegakan syariat Islam. Walaupun motivasi dan
gerakan anti-Barat tidak bisa disalahkan dengan alasan keyakinan keagamaan
tetapi jalan kekerasan yang ditempuh kaum radikalisme justru menunjukkan
ketidakmampuan mereka dalam memosisikan diri sebagai pesaing dalam budaya dan
peradaban. Yudi Latif menandaskan, munculnya terorisme disebabkan karena tidak berjalannya
sense of conseption of justice. Teroris muncul karena munculnya skeptisisme
terhadap demokrasi. Demokrasi dianggap sebagai sistem negara kafir.
Kelima, faktor
kebijakan pemerintah. Ketidakmampuan pemerintah di negara- negara Islam untuk
bertindak memperbaiki situasi atas berkembangnya frustasi dan kemarahan
sebagian umat Islam disebabkan dominasi ideologi, militer maupun ekonomi dari
negera-negara besar. Dalam hal ini elit-elit pemerintah di negeri negeri Muslim
belum atau kurang dapat mencari akar yang menjadi penyebab munculnya tindak
kekerasan (radikalisme) sehingga tidak dapat mengatasi problematika sosial yang
dihadapi umat. Hal yang demikian diungkapkan oleh Mahathir Muhammad dalam
sambutannya pada acara pertemuan negara-negara OKI di Kuala Lumpur Malaysia
tanggal 1–3 April Di negeri ini bisa dilihat tidak tuntasnya penyelesaian
masalah korupsi, aset negara yang banyak lari ke luar negeri, pencaplokan
wilayah Indonesia oleh Malaysia, dan disedotnya kekayaan negara oleh
konspirator politik.
Keenam, faktor media
massa (pers) Barat yang selalu memojokkan umat Islam juga menjadi faktor
munculnya reaksi dengan kekerasan yang dilakukan oleh umat Islam.
Propaganda-propaganda lewat pers memang memiliki kekuatan dahsyat dan sangat
sulit untuk ditangkis sehingga sebagian “ekstrim” yaitu perilaku radikal
sebagai reaksi atas apa yang ditimpakan kepada komunitas Muslim. Lihat misalnya
film Fitna, penggambaran tentang kiamat (film 2012), dan lainnya.
Pola pikir normatif dan pola pikir hitam putih merupakan faktor
dominan lahirnya radikalisme dan terorisme. Sejarah Islam mencatat bahwa akibat
polapikir yang sempit terhadap terminologi kafir, maka seorang ulama besar yang
hafal Al-Qur’an, rajin shalat malam, dan rajin puasa sunah Senin- Kamis yang
bernama Abdurrahman bin Mulzam tega membunuh Sayidina Ali bin Abi Thalib karena
Sayidina Ali bin Abi Thalib dianggap kafir atau tidak beragama secara benar
hanya gara-gara melakukan perundingan damai dengan Muawiyah.
Radikalisme dalam agama
akhirnya menjalar ke aspek pendidikan, dimana salah satu atau beberapa elemen
dalam pendidikan sering melakukan radikalisme yang menyebabkan teror atau rasa
takut para elemen pendidikan untuk melaksanakan tugas sebagai pendidik dan
tenaga kependidikan. Guru kurang maksimal melaksanakan tugasnya sebagai
pendidik hanya agara gara takut diancam pihak pihak lain uangg dianggap merasa
dirugikan. Seorang kepala sekolah kurang optimal menjalankan tugasnya sebagai
pimpinan lembaga pendidikan karena takut ditekan atau diancam oleh atasannya.
Akibatnya proses pendidikan dan proses kepemimpinan kurang sesuai harapan
karena ada intervensi yang bersifat mengancam dari pihak pihak lain diluar
pendidikan.
2.
Penyebaran Faham Radikalisme
Islam
Para pendukung faham Radikalisme Islam menggunakan berbagai sarana dan media
untuk menyebarluaskan faham mereka, baik dalam rangka pengkaderan internal
anggota maupun untuk kepentingan sosialisasi kepada masyarakat luas. Berikut
ini sarana yang ditempuh untuk menyebarluaskan faham radikalisme yaitu :[9]
1. Melalui pengkaderan organisasi. Pengaderan organisasi adalah
kegiatan pembinaan terhadap anggota dan atau calon anggota dari organisasi
simpatisan atau pengusung radikalisme. Pertama Pengkaderan internal.
Pengkaderan internal biasanya dilakukan dalam bentuk training calon anggota
baru dan pembinaan anggota lama. Rekruitmen calon anggota baru dilakukan baik
secara individual maupun kelompok. Rekrutmen individual biasanya dilakukan oleh
organisasi radikal Islam bawah tanah seperti NII, melalui apa yang sering disebut
dengan pencucian otak (brainwashing). Hampir semua korban pencucian otak dari
keompok ini menceritakan pengalamannya terkait dengan doktrinasi ajaran atau
faham mereka yang sarat dengan muatan radikalisme, seperti diperbolehkannya
melakukan kegiatan merampok untuk kepentingan NII.
2. Melalui masjid-masjid yang berhasil “dikuasai”. Kelompok Islam
radikal juga sangat lihai memanfaatkan masjid yang kurang “diurus” oleh
masyarakat sekitar. Kesan rebutan masjid ini pernah menjadi berita heboh
beberapa waktu lalu.11 Pemanfaatan masjid sebagai tempat untuk menyebarkan
ideologi radikalisme Islam terungkap berdasarkan penelitian yang pernah
dilakukan oleh CSRC dan dimuat di harian Republika pada tanggal 10 Januari
2010. Penelitian sejenis tampaknya perlu dilakukan di Yogyakarta, mengingat
kota ini juga tidak luput sebagai basis beberapa gerakan Islam radikal.
3. Melalui majalah, buletin, dan booklet. Penyebaran ideologi
radikalisme juga dilakukan melalui majalah, buletin dan booklet. Salah satu
buletin yang berisi ajakan untuk mengedepankan jihad dengan kekerasan adalah
buletin “Dakwah & Jihad” yang diterbitkan oleh Majelis Ar-Rayan Pamulang di
bawah asuhan Abu Muhammad Jibril, pentolan MMI, kakak kandung Irfan S Awwas,
Amir MMI sekarang ini.
4. Melalui penerbitan buku-buku. Faham radikalisme juga disebarkan
melalui buku-buku, baik terjemahan dari bahasa Arab, yang umumnya ditulis oleh
para penulis Timur Tengah, maupun tulisan mereka sendiri. Tumbangnya
pemerintahan Soeharto membuat kelompok-kelompok radikal yang dulu tiarap
menjadi bangun kembali. Euforia reformasi ternyata juga berimbas dengan
masuknya buku-buku berideologi radikal seperti jihad dari Timur Tengah ke
Indonesia.
5. Melalui internet. Selain menggunakan media kertas, kelompok
radikal juga memanfaatkan dunia maya untuk menyebarluaskan buku-buku dan
informasi tentang jihad
3. Pencegahan
Radikalisme.
Radikalisme bisa menimpa siapa saja, kapan saja dan dimana saja.
Tidak peduli anak anak, remaja, orang dewasa, tidak pandang mereka miskin atau
kaya, tidak pandang mereka kelompok elit ataupun rakyat jelata. Radikalisme
lebih banyak disebabkan oleh adanya faham atau pemikiran yang sempit terhadap
suatu fenomena. Oleh sebab itu radikalisme alan bisa ditelan atau dieliminir
bahkan dihilangkan hatus diawali dati pembinaan atau bimbingan cara pandang
atau cara fikir terhadap suatu fenomena. Nur Syam (2009) dalam buku Tantangan
Multikulturalisme Indonesia memiliki analisis yang cukup menarik bahwa untuk
melahirkan cara pandang yang tepat perlu belajar dari ideologi Ahlussumah Wal
Jamaah atau NU yang dicirikan dengan empat
hal;[10]
Pertama, Tawasuth (moderat). Doktrin ini mengajarkan bahwa manusia
memiliki kebebasan untuk melaksanakan suatu aktivitas tetapi sebebas apapun
manusia masih dibatasi oleh kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa. Artinya dapam
meraih keuksesan, manusia wajib ihtiyar secara optimal tetapi jangan lupa bahwa
Allah swt juga ikut menentukan keberhasilan. Setelah berusaha manusia wajib
berdoa dan pasrah kepada Allah swt.
Kedua, Tawazun ( keseimbangan). Doktrin ini mengajarkan bahwa
manusia dalam memandang suatu realitas tidak boleh bersifat ektrem baik kekiri
atupun ke kanan. Artinya manusia yang bauk tidak terlalu berlebihan pada saat
senang atau benci kepada sesuatu. Hal ini didasarkan asumsi bahwa sebaik baik
menurut pandangan manusia belum tentu baik menurut Allah swt, sebaliknya
sejelek jelek dalam pandangan manusia juga belum tentu jelek menurut Allah swt.
Ketiga, I’ Thidal (keadilan). Doktrin ini mengajarkan bahwa
diantara sesama manusia harus saling memebrikan kepercayaan dan kepercayaan
yang dibangun harus memberikan persn secara proporsional. Dunia akan cepat
hancur jika masing masong elemen tidak memiliki kesadaran untuk melaksanakan
peran masing masing secara proporsional.
Keempat, Tatharruf (universsalisme). Doktrin ini mengajarkan
Setiap manusia agar lebih mengedepankan
pemahaman islam yang bersifat universal (global). Kebenaran Islam dilihat dari
norma norma yang bersifat umum seperti keadilan, kemanusiaan, keselamatan dan
kesejahteraan.
Langkah berikutnya yang bisa
dilakukan untuk mengeliminir atau membendung gerakan radikalisme dalam
pendidikan adalah dengan cara memerkuat pola jaringan kerjasama internal
sekolah dan jaringan eksternal antara sekolah dengan masyarakat dan orang tua siswa.
Kerjasama internal adalah kerjasama yang rapi dan kompak antara
pimpinan kepada guru, antar sesama guru dalam menghadapi, memahami dan
menyelesaikanersoapan siswa. Lengkah langkah yang dilakukan antara guru satu
dengan lainnya, antara pimpinan satu dengan yang lain harus singkron sehingga
tidak muncul kesan berbeda beda dalam melihat persoalan siswa.
Kerjasama antar sekolah dengan masyarakat dan orang tua adalah pola
koordinasi secara rutin dan sistematis jika terdapat persoalan yang muncul.
Kerjasama dilakukan sesuai dengan jenis problem dan kepentingan yang ada, dan
kerjasama tidak hanya dilakukan dalam konteks memberikan solusi atas persoalan
yang muncul tetapi juga harus dilakukan dengan tujuan antisipasi atau
pencegahan mumculnya persoalan dalam pendidikan.
Ada kesan sekolah atau pendidikan dipinggirkan dalam artian jika
ada persoalan yang muncul, semua sebab musabab dianggap hanya dari kelemahan
elemen elemen yang ada di sekolah. Akibatnya semua elemen menumpakan
penyelesaian persoalan seakan akan menjadi tugas dan tanggung jawab sekolah.
Sekolah atau lembaga pendidikan merupakan open system yaitu suatu sistem tata
organisasi yang sangat terbuka sehingga sangat mudah dipengaruhi oleh pihak
pihak luar. Artinya apa yang terjadi di dalam sekolah atau lembaga pendidikan
terdapat faktor dominan dari pihak luar pendidikan.
Islam mengajarkan perdamaian, toleransi dan jauh dari perilaku
radikal yang merugikan diri sendiri dan orang lain. Ajaran aman, nyaman dan
damai dalam Islam adalah sebagaimana disabdakan Rasulullah Saw, bahwa
“al-Muslimu man salima al- Muslimuna min yadihi wa lisanihi”. Muslim sejati
adalah seseorang yang membuat nyaman umat Islam yang lain dari kejahahatan
tangan dan lisannya.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Pendidikan memiliki tujuan dan
fungsi sangat mulia, yaitu memanusiakan manusia, dalam arti menjadikan manusia
lebih berperan sebagai manusia, lebih mengetahui serta memahamai nilai-nilai
dan hakikat sebagai manusia. Hal ini menjadi penting, karena jika manusia tidak
mengetahui dan memahamai nilai- nilai kemanusiaan, maka akan jatuh ke
dalamsifat-sifat hewan atau binatang. Antara manusia dan binatang hakikatnya
sama, perbedaannya hanya dalam hal optimalisasi penggunaan rasio atau akal
saja.
Proses pendidikan tidak boleh dikotori dengan sikap dan perilaku
yang bertolak belakang dengan visi dan misi pendidikan yang sebenarnya. Semua
elemen dalam proses pendidikan harus saling mendukung dan bersinergi secara
positif sehingga akan melahirkan kualitas proses dan produk pendidikan sesuai
yang dicita-citakan.
Radikalisme dalam pendidikan
memiliki potensi ancaman yang sangat berbahasa dalam mewujudkan kelangsungan
kualitas pendidikan. Radikalisme bisa muncul kapan saja, dari mana saja dan
dapat dilakukan oleh siapa saja. Oleh sebab itu radikalsime perlu di sikapi
secara utuh dan komprehensif yang meliputi berbagai aspek melakukan sinergi
secara rapi dan tepat.
Untuk melahirkan cara pandang yang
tepat untuk membendung radikalisme perlu belajar dari ideologi Ahlussumah Wal
Jamaah atau NU yang dicirikan dengan empat
hal :
Pertama, Tawasuth (moderat).
Kedua, Tawazun ( keseimbangan ).
Ketiga, I’ Thidal (keadilan).
Keempat, Tatharruf (universsalisme).
[1] Azhar
Abdullah, “ Gerakan Radikalisme Dalam
Islam “, Addin, Vol. 10. No. 1. 2016. Hal 2. ( Di akses tanggal 9
November 2017)
[2] Undang-undang
Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan
Nasional.
[3] M. Saekan
Muchith, Ilmu Pendidikan Islam (Kudus: STAIN Kudus Press, 2007), hlm.
17.
[4] Undang-undang
Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan
Nasional
[5] M. Saekan
Muchith, Pendidikan Tanpa Kenyataan. (Semarang: Unnes Press, 2008)
[6] M. Saekan
Muchit,” Radikalisme Dalam Dunia Pendidikan “, Addin, vol. 10. No. 1.
2016. Hal. 170. ( di akses tanggal 9 November 2017)
[7] M.Z. Mubarak,
Genealogi Islam Radikal di Indonesia (Jakarta: LP3ES, 2008), hlm. 25
[8] Sun
Choirul Ummah Msi, “ Akar Radikalisme Islam Di Indonesia “ Humanika,
No. 12. 2012. Hal 118. (di akses tanggal 9 November 2017.)
[9] Abdul Munif, “
Menanggkal Radikalisme Agama Di Sekolah”. Jurnal Pendidikan Islam, Vol. 1. No.
2. 2012, Hal 165. ( Diakses Tanggal 11 November 2017).
[10] M. Saekan
Muchit,” Radikalisme Dalam Dunia Pendidikan “, Addin, vol. 10. No. 1.
2016. Hal. 176. ( Diakses Tanggal 9 November 2017).
0 komentar:
Posting Komentar